Listen to Me
Author : Shin Yoon Ah
Genre : Horror, Romance
Cast : Dalon, Kristine, Peercie, Partent
Dalon berusaha menyeret
badannya. Ia tidak merasakan sakit dan tidak ada luka apapun di tubuhnya. Tapi
entah mengapa badan yang selama ini ia banggakan seolah ditahan benda berat dan
sangat kaku untuk digerakkan. Dalon ingin keluar dari tempat gelap yang
membuatnya pengap dan kesulitan bernafas itu. Bau anyir darah seorah memaksa
masuk ke rongga hidungnya. Ia hanya melihat beberapa barang tua yang teronggok
dimana-mana dengan cairan yang menetes dari atasnya.Ia tidak pernah menduga
bahwa air itu adalah tetesan darah yang entah berasal darimana. Namun yang
lebih membuatnya ingin berteriak adalah tetesannya semakin deras dan berubah
menjadi aliran darah yang membuat ruangan itu tenggelam semakin tinggi dan
membuatnya jijik.
Dalon menaiki sebuah meja rias
usang yang berada di sudut, berharap genangan air berwarna merah itu tidak akan
menyentuhnya. Namun satu hal yang membuatnya kebingungan. Semua barang di sini
meneteskan darah. Kecuali barang yang dinaikinya, masih sangat putih walaupun
banyak debu di sana. Tersadar ada hal aneh, Dalon melihat sekelilingnya. Kanan,
kiri, bawah, kembali ke depan. Tetapi tak ada apapun yang mencurigakan. Dalon
berdiri tegak dan menoleh ke belakang… namun tak ada apapun selain dinding
usang. Ia melihat ke atas hanya ada lubang besar di atap bagian atasnya.
Dalon sudah memastikan semua
sisi di sekitarnya. Tak ada yang mencurigakan. Tapi ia merasa agak janggal. Di
tengah kejanggalan itu, matanya menangkap sesuatu di bawah meja tepat di sudut
yang berlawanan dengannya. Sepasang mata menatapnya. Dalon terperanjat dan
merapat ke dinding. Namun dinding itu menghilang dan ia jatuh ke belakang
dengan wajah menghadap ke atas tepat di depan wajah pemilik mata yang entah
sejak kapan telah berpindah ke atasnya dan menatapnya. Ia berteriak sejadinya.
Setiap ia memperkeras suaranya ruangan semakin terang dan terang. Namun wajah
gadis itu tak mau menjauh dari wajahnya. Dan di saat ia mengeluarkan suara
terakhirnya, wajah itu berubah menjadi wajah seorang wanita cantik.
“Ada apa? Kau bermimpi buruk
lagi? Lebih buruk?” Wanita ini berbicara pada Dalon.
“Sepertinya begitu, Dear.” Wajah
Dalon benar-benar pucat dan suaranya bergetar.
“Kemarilah! Mungkin ini akan
membuatmu lebih baik.” Kristine memberikan Dalon sebuah pelukan lembut yang
hangat.
Sepanjang malam Kristine dan Dalon
sama sekali tidak tidur. Kristine tidak ingin meninggalkan kekasihnya yang
tidak bisa tidur itu. Jam menunjukan pukul 05.00 a.m, 2 jam lagi mereka harus
berangkat ke kampus. Dalon memutuskan untuk mandi. Sedangkan Kristine menuju
dapur untuk memanggang roti dan menyeduh kopi instant untuk Dalon. Setelah itu
ia masuk ke kamar mandi. Mereka memang tidur di rumah yang sama. Yaitu rumah
milik ayah Dalon.
Di ruang tamu rumah, Dalon
menikmati kopi dan rotinya ditemani Kristine yang menyantap salad buahnya.
Kristine mencoba mencari topik pembicaraan yang menarik tetapi tidak menyangkut
mimpi buruk Dalon. Akhir – akhir ini Dalon memang sedikit pendiam dan sering
melamun. Kristine terpaksa harus menjadi lebih banyak bicara agar hubungan
mereka tidak sepi. Di tengah kebingungannya seorang perempuan membawa segelas
jus dan duduk di depan sepasang kekasih yang sedang dirundung kesepian itu.
“Peercie, kau menyelamatkan kami
dari suasana mengerikan makam ini.” Batin Kristine.
“Apa yang semalam kau lakukan
pada Kristine-ku? Dia tidak kembali ke kamar setelah mengunjungi kandang yang
kau sebut kamarmu-istanamu itu.” Peercie melirik curiga pada Dalon.
“Aku memakannya.” Dalon
tersenyum dan menggenggam tangan Kristine dan pergi meninggalkan Peercie. Ia segera
menyeruput jusnya lalu berlari menyusul sepasang kekasih yang sudah mulai
menghidupkan mesin mobil itu.
Di kampus mereka berpisah. Dalon
pergi menuju taman belakang kampus untuk mencari sahabat terbaiknya, Partent.
Ia ingin menceritakan mimpinya semalam kepada lelaki hitam manis itu. Dalon
benar-benar tidak akan bisa menyimpan hal semenakutkan itu untuk dirinya
sendiri. Ia juga tidak ingin Kristine mengetahuinya. Karena Dalon tau Kristine
akan sangat ketakutan saat ia menceritakan hal seperti ini.
“Hai, Meloon. Apa kau mencari
Kristine? Aku melihatnya memasuki ruang dosen bersama My Curly Angel. Apa kalian bertengkar?” Tidak ada lelaki lain yang
akan memanggil Peercie dengan sebutan seperti itu selain orang yang suka
padanya dan sedang Dalon cari sampai ke sudut-sudut kampus.
“Aku mencarimu. Kami tidak
bertengkar. Dan Ten, bisakah kau berhenti memanggilku seperti itu?”
“Tidak.” Jawabnya singkat seraya
memeluk Dalon. “Apa lagi kali ini?” sambungnya.
“Malam ini seorang gadis ada di
mimpiku.”
“Gadis itu selalu di mimpimu kan
akhir-akhir ini? Aku bosan mendengarnya.” Partent acuh.
“Ya. Aku melihat wajahnya tadi
malam. Sedekat ini.” Dalon mengangkat tangannya sejauh 10 cm di depan
hidungnya.
“Benarkah? Seperti apa dia?
Apakah secantik Peercie?”
“Kau gila. Wajahnya penuh dengan
luka sayatan dan berlumuran darah. Rambut panjangnya berantakan. Matanya
benar-benar putih dan hanya memiliki sebuah titik hitam di setiap matanya. Jika
kau sepertiku, aku yakin kau akan benar-benar gila.” Dalon mengatakannya dengan
menggebu-gebu dan membuat Partent tidak bisa berpikir dan merasa sedikit
merinding.
“Bisa kita bahas yang lain?
Seperti mata kuliah atau apapun selain ini.”
Mimpi buruk demi mimpi buruk
terus berdatangan kepada Dalon. Tapi tetap saja ia tidak ingin memberitahu
Kristine apa isi mimpinya. Kristine juga tidak berani menanyakannya karena ia
selalu merasa takut saat melihat kekasihnya berteriak ketakutan dan tersiksa
seperti apa yang ia lihat setiap malam. Jadi ia memutuskan untuk melupakan
semua yang ia lihat setiap malam saat ia melintasi kamar Dalon.
Lama kelamaan Dalon mulai
seperti orang tak terawat. Ada lingkaran hitam di matanya. Tubuhnya juga
kehilangan berat badan. Itu membuat Kristine khawatir. Sampai suatu malam
Kristine melewati kamar Dalon dan melihat pria itu duduk bersandar di kursi sebelah
meja belajarnya. Ia mengetuk pintu kamar tersebut tetapi Dalon tak kunjung
membukanya. Kristine membuka pintu yang memang tidak pernah terkunci tersebut.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanya
Kristine cukup khawatir.
Dalon yang baru sadar Kristine
ada di dalam kamarnya sedikit tersentak dan wajahnya berubah semakin pucat dan
tampak khawatir. Ia menegakkan punggungnya dan berkata, “Dear, apa yang kau
lakukan disini?”
“Aku hanya ingin memastikan
kau…” perkataan Kristine terpotong oleh Dalon yang semakin terlihat khawatir.
“Pergilah! Tinggalkan aku
sendiri.”
“Tapi kau terlihat tidak sehat,
dear. Aku akan menemanimu malam ini. Kau kurang tidur.” Kristine mulai
menaikkan nadanya seolah menegaskan bahwa ia akan tetap di sana.”
“I’m fine. Kumohon pergilah.”
Nada Dalon jauh lebih tegas.
“Tapi aku…”
“Go away. I’m fine. I love you,
please stay away from me.”
Kristine tetap menolak untuk
pergi walaupun Dalon memaksa. Mereka saling berteriak namun Dalon sama sekali
tidak berpindah dari tempatnya duduk. Kristine mendekati Dalon untuk mencoba
menenangkannya. Namun gadis itu benar-benar tersentak ketika melihat
pergelangan kiri kekasihnya terlihat biru kemerahan seperti luka bakar dan ada
beberapa luka kecil yang mengeluarkan darah di sana.
“Kau sebut ini tidak apa-apa?”
Kristine sedikit kesal bercampur khawatir.
Perlahan ia lebih mendekat lagi.
Tapi dihentikan oleh Dalon. Kristine tetap mendekat dan ia melihat sesosok
wanita dengan wajah penuh luka dan dipenuhi darah berdiri di belakang
kekasihnya. Gadis itu menatap tajam ke arah Kristine dan memeluk bahu Dalon. Di
sela ketakutannya Dalon masih sempat menyuruh Kristine pergi. Kristine sempat
ragu. Namun saat tangan wanita hantu itu terjulur ke arahnya ia sempat berlari
keluar. Namun tepat saat ia keluar dari kamar, pintu kamar tertutup dan terkunci.
Kristine segera berlari ke balkon tempat Partent dan Peercie sedang duduk
berdua. Ia menceritakan semua kejadiannya.
“Bibiku adalah seorang cenayang.
Rumahnya tak jauh dari sini. Haruskah aku menjemputnya untuk Dalon?” Partent
mengirim pesan ke bibinya dan segera menuju rumah bibinya, Leona. Sedangkan
Peercie menenangkan Kristine yang masih sedikit shock. Tak lama kemudian
Partent dan bibinya sampai di rumah. Tanpa banyak mengoceh Partent mengantar
bibinya bersama Kristine yang masih dirangkul oleh Peercie. Namun di jarak 10
meter dari kamar Dalon Bibi Leona mendadak berhenti.
“Wanita ini… tidak ingin kau ada
di dekat Dalon. Tinggallah di sini!” Kristine tidak membangkang. Ia tidak ingin
wanita itu melukai Dalon lagi.
“Peercie, apa Dalon akan baik-baik
saja?” Kristine menggigil di lengan Peercie.
“Berdoalah untuknya.” Peercie
memeluk Kristine semakin erat.
Partent membuka pintu kamar
Dalon untuk membiarkan bibinya masuk. Pintu yang tadinya terkunci itu kini bisa
dibuka dengan mudah. Baru 2 langkah memasuki pintu Partent merasa ingin muntah
karena mencium bau anyir darah yang berasal dari genangan air di bawah kursi
tempat Dalon duduk. Ia ingin berlari keluar namun tangan Bibi Leona memegangnya
erat.
“Jangan pergi. Jadilah yang
pertama.”
Partent tersentak. Ia menyadari
sesuatu. Tak ada siapapun di belakang Dalon. Dan Dalon juga tidak menyuruhnya
pergi saat ia masuk seperti yang dialami Kristine sebelumnya.
Di luar, ponsel Partent yang
berada di saku celana Peercie bergetar. Gadis itu heran di saat seperti ini ada
saja yang mengirim pesan kepada kekasihnya. Ia membuka pesan tersebut dan
matanya mendadak melebar. Ia melepaskan pelukannya pada Kristine dan membaca
pesan itu berulang-ulang sambil berpikir. Kristine merasa aneh dengan sikap
sahabatnya itu segera merebut ponsel Partent dan membaca pesan baru tersebut.
From
:Aunty Leona
Maafkan
Aunty,Ten. Aku sedang di luar kota untuk mengurusi sebuah kasus bunuh diri.
Tentang temanmu, aku tau ini darurat. Tapi aku sedang jauh dari rumah. Butuh
waktu 2 jam untuk kembali pulang. Untuk membantunya ambillah buku kecil di
tempat mainanmu di rumahku. Itu akan sedikit melindungimu dan teman-temanmu.
Sekali lagi maafkan Aunty. Aunty menyayangimu.
Tanpa pikir panjang Kristine
berlari menuju kamar Dalon disusul Peercie yang sangat ketakutan. Saat berusaha
membuka pintu kamar Dalon yang kembali terkunci, sesuatu menarik Peercie menuju
serambi lantai 2. Kristine hanya bisa melihat hal itu karena ia sendiri sangat
sibuk membuka pintu kamar Dalon. Di sana ada Bibi Leona yang akan membantunya.
Meskipun ia tau itu bukan Bibi Leona. Tapi siapapun dia Kristine berharap
wanita itu akan membantunya. Tapi pemandangan mengerikan yang ia lihat di dalam
kamar itu. Partent dengan dada yang robek dan darah yang menggenang.
Ada dua warna darah yang menyatu di lantai.
Yang pertama berwarna gelap dan kental namun terlihat segar. Yang kedua
berwarna lebih terang dan lebih encer berasal dari kursi tempat Dalon tadi
duduk. Dalon!!! Kristine baru sadar bahwa Dalon sudah tak akan di kamar itu. Ia
segera berlari ke serambi lantai 2 tempat Peercie menghilang. Ia melihat garis
darah yang sepertinya berasal dari sesuatu yang di seret. Yang lebih
mengejutkan darah itu melompati pagar pembatas. Kristine melihat ke bawah dan
melihat sahabat terdekatnya tergeletak penuh darah di bawah sana. Ia hampir
jatuh tersungkur jika saja Dalon tidak memegang tangannya.
“Aku menyuruhmu pergi. Kenapa
kalian tidak mendengarku?” Dalon memeluk Kristine. Darah segar mengalir
membasahi baju Kristine.
“Kau terluka. Jangan bergerak.
Kita harus ke rumah sakit.” Dalon menolak. Ia berkata mereka tidak akan bisa
keluar dari tempat itu. Tetapi Kristine tetap tidak mengindahkannya. Ia tetap
berusaha memaksa Dalon untuk berjalan. Namun kakinya yang lemah dan kekuatan
lengan Kristine yang tak cukup kuat untuk menopang tubuh Dalon membuat Dalon
menggelinding dari tangga teratas menuju lantai dasar. Kristine hanya bisa
terkejut, menangis, dan berlari ke lantai dasar untuk berusaha menyadarkan
kekasihnya. Ia memeluk tubuh Dalon dengan perasaan menyesal.
“Tidak bisakah kau mendengar
perkataan orang lain?” Suara serak yang tajam terdengar menggema di seluruh
penjuru ruangan. Dan muncullah sosok wanita yang menurut Kristine telah
membunuh semua orang yang ia sayangi.
“Kau!! Apa yang kau inginkan?
Mengapa kau membunuh mereka semua?!” Kristine berdiri dan menunjuk tepat di
depan wajah wanita yang penuh luka itu.
“Beraninya kau menunjukku dengan
tangan kotormu itu!” Wanita itu sangat nampak tidak menyukai perlakuan Kristine
terhadapnya.
“Kau pikir aku takut denganmu?
Wajah buruk rupamu ini tak lagi menakutkan untukku. Tapi itu sungguh sangat
menjijikkan, pembunuh!!” Kristine terlihat benar-benar marah. Tetapi hantu
wanita itu malah melihat tangan Kristine dan tersenyum.
“Jadi ini tangan yang dari
seorang pembunuh yang menjijikan itu?” Wanita itu memaksa Kristine menurunkan
tangannya.
“Apa maksudmu?! Kau yang
membunuh mereka!” Kristine masih dengan nada tinggi.
“Aku?? Bukankah kau yang tidak
mendengarkan perkataan kekasihmu dan membuat semua orang terbawa masalah bodoh
ini? Jadi kau yang membunuhnya!” Wanita itu terkikik.
“Kau yang membunuhnya!” Kristine
berteriak.
“Dengan bantuanmu, pembunuh.”
Wanita itu lalu menghilang tapi suaranya tetap bergema di setiap ruangan di
rumah itu.
“Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!!
Kau pembunuh!!!”
“Aku bukan pembunuh. Itu bukan
aku.” Kalimat itu yang selalu diucapkan Kristine untuk membantah.
“Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!!
Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!!”
Keesokan harinya Kristine
ditemukan tak bernyawa dengan telinga mengaluarkan darah dan bola matanya
berubah putih dengan sebuah bintik kecil di tiap matanya. Polisi berusaha
mengungkap pembunuhan tragis yang menyangkut 4 mahasiswa tersebut. Namun
kasusnya tak pernah terpecahkan bahkan oleh detektif terbaik sekalipun.
Maaf yaa kalo absurd.. baru percobaan soalnya.. dan lagi ini cerpen lama ungkit kembali ^^
Maaf yaa mimin telat upload soalnya masih sibuk banget T_T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar