Senin, 01 Mei 2017

FF Indonesia : EXODUS Chapter 5 (Last Chapter)



EXODUS
Author : Shin Yoon Ah
Lenght : Chapter
Genre : Romance, Action
Cast : Kim Jeon Myon, Irene (RV), Huang Zi Tao



“Choi Yeong Kun. Sudah kuduga dia orangnya.” Ulang Tao di belakang Suho.
“Ini tak masuk akal. Bagaimana bisa?” Suho mendengus dan mengusap kepalanya lagi.
“Hyung, kupikir kau perlu istirahat. Aku akan membereskan ini. Kau bisa kembali ke kantor.” Tao memberi isyarat kepada beberapa polisi untuk membawa Suho pergi. Tanpa berkata Suho meninggalkan tempat itu dan kembali ke kantor.
Suho membanting tubuhnya ke kursi kantor yang terasa sangat dingin di bawah kulitnya yang memanas. Ia berteriak sekeras mungkin di ruangannya yang cukup kedap suara, kemudian memukulkan kepalanya ke meja di depannya. Benturan itu cukup kuat untuk membuat memar merah di dahinya dilengkapi dengan baret-baret kecil di tengahnya. Suho membiarkan air mata yang sejak tadi berusaha memberontak jatuh ke meja di bawah matanya. Pasalnya bukan hanya sekali ini ia kecolongan. Padahal setiap penggerebekan hanya diketahui oleh orang-orang yang ia percaya.
Irene memastikan cat merah itu telah menempel di kukunya dengan cantik dan rapi sebelum membereskan pewarna kukunya. Setelah itu ia menggiring kotak kecil berisi berbagai warna cat kuku itu ke lemarinya paling bawah. Irene harus menyingkap beberapa helai jaket yang menjuntai dari atas sampai bawah menutupi jalan masuk kemudian mendorong separuh tubuhnya masuk ke lemari untuk menaruh kotak berharganya itu di sudut agar tak mudah tersenggol dan jatuh menumpahkan segala isinya.
Irene baru saja melepas genggamannya dari benda itu ketika ponselnya berbunyi nyaring membuatnya terkejut dan kepalanya menabrak papan di atasnya. Segera ia menarik diri dan menuju dapur, tempat ia menaruh ponselnya terakhir kali. Tetapi ketika ia sampai di dapur, dering ponsel itu telah berhenti. Ia baru akan menaruh ponselnya sebelum terdengar dering notifikasi line dari benda itu.
Yoon-Seoyeon : Irene-sshi, apa yang terjadi dengan Detektif Kim? Wajahnya terlihat seperti ia akan memakan orang. Apa kalian bertengkar?
Mengabaikan pesan itu, Irene segera mencari kontak Suho dan menghubunginya dengan video call. Lama ia menunggu sampai ia harus menghubungi dua kali sebelum Suho mengangkatnya dengan wajah terkejut dan kalimat yang pertama kali ia ucapkan adalah : “ini video call?” dengan suara pelan seolah berkata pada dirinya sendiri.
“Oppa, wae geure? Kau menangis?” Refleks Irene menanyakan hal itu karena ie melihat katung mata Suho membengkak dan hidungnya memerah.
Ania. Aku hanya…
“Apa yang terjadi dengan dahimu?” Kepanikan Irene memotong perkataan Suho.
Aku hanya jatuh.. tenang saja!
“Aku akan ke sana membawa obat. Tunggu di sana dan jangan berbuat aneh-aneh.” Irene tak menggubris Suho dan malah berlarian mengambil tas, jaket, dan barang-barang lain sebelum ia mematikan sambungan telepon mereka.
“Ahh gadis ini.” Suho mendesah pelan sambil tersenyum kecil.
Ia menatap layar ponselnya beberapa saat sambil tersenyum, namun is terkejut ketika layar ponselnya mati. Wajah yang terantul di sana benar-benar hancur. Ada sisa air mata di pipinya, kantung matanya melebar, dan yang lebih parah dahinya merah dan tergores. Suho segera berdiri sambil meraih handuk kecil di laci meja kerjanya kemudian menghambur keluar menuju kamar mandi.
Seorang gadis mungil dengan celana jeans biru laut dan jaket musim dingin tebal khas musim dingin berwarna hitam memasuki Kantor Kepolisian Seoul. Dengan santai ia melewati meja resepsionis yang dihuni oleh tiga wanita. Salah seorang dari mereka terdengar berteriak kepada gadis tersebut beberapa kali dengan akrab. Perlahan gadis itu menoleh dan mendekat.
“Irene-sshi.” Ulang gadis yang menggunakan name tag bertuliaskan Yoon Seoyeon itu.
“Ne? Maaf …em… Seoyeon-ahh aku baru sadar kau memanggilku.” Jawab gadis itu canggung.
“Ahh gwencana. Kau pasti datang menemui Detektif Kim karena pesanku itu kan? Tadinya aku khawatir kau tak akan datang. Detektif Kim benar-benar kacau.” Jelas Seoyeon panjang lebar.
“Eoh. Kau benar.” Gadis itu menjawab seadanya.
“Geunde, Irene-ahh, kenapa kau memakai masker?”
“Ahh aku sedang flu. Ini kan musim dingin yang ekstrim. Kau juga harus hati-hati Seoyeon-ahh.”
“Kau benar. Jadi itu alasannya kau memakai jaket itu? Kupikir kau selalu memakai jaket mahal dan fashion terbaru.” Seoyeon tersenyum manis.
Gadis itu hanya tersenyum dan perlahan menurunkan penutup kepalanya dan membiarkannya tergantung di jaket.
“Wahhh…kau memotong rambutmu!!! Kau tetap tidak berubah, masih tetap cantik.” Mata Seoyeon berbinar-binar.
“Ne. Gomapseumnida. Emm… sepertinya aku harus pergi sekarang. Detektif Kim pasti menungguku.” Gadis itu segera menyingkir dari hadapan Seoyeon yang masing tersenyum lebar.
Suho membasuh mukanya secara cepat beberapa kali hingga ia bisa memastikan wajahnya bersih tanpa noda. Meskipun tak dapat dipungkiri luka di dahinya berdenyut ringan, namun ia masih tak berhenti menggosok wajahnya hingga tak ada bekas air mata di sana.
Sambil mengelap wajahnya perlahan, Suho berjalan menuju ruang kerjanya. Meskipun hatinya bergemuruh dan kepalanya serasa hampir pecah, ia tak boleh terlihat lemah di mata Irene. Suho menanamkan pada diri sendiri bahwa ia harus menjaga kekasihnya. Apalagi kekasihnya kali ini merupakan gadis yang juga sangat disukai oleh Joo In.
Suho membuka pintu dan mendapati kursinya telah berbalik ke arah jendela dan tampak olehnya puncak kepala seorang gadis berambut pirang dari balik kursi itu. Suho tersenyum simpul, Irene benar-benar datang ke kantornya karena khawatir. Perlahan ia mendekati kursi itu dan membaliknya. Matanya membulat ketika menyadari bahwa itu bukan Irene, namun keterkejutannya terlambat. Ia merasakan benda dingin merobek sebelah kanan perutnya. Seketika itu juga benda itu ditarik keluar oleh si empunya pisau. Suho terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi luka robek yang telah mengeluarkan banyak darah itu.
Tanpa memberi kesempatan bagi Suho untuk bernapas, dengan kejam gadis berambut pendek itu merobek leher Suho. Darah segar kembali merembes keluar dari luka itu. Suho berusaha bernapas namun ia malah tersedak darahnya sendiri. Ia berusaha meraih pistol yang tergantung bersama jasnya namun gadis itu menendang tangan Suho yang kini belepotan darah. Tendangan dari gadis bermasker hitam itu bukan hanya menyingkirkan tangan Suho tetapi juga membuat keseimbangan Suho oleng dan tubuhnya terjatuh. Suho tak dapat berkutik lagi. Ia hanya bisa melihat gadis itu berjalan meninggalkannya di lantai yang dingin. Bahkan ia hanya bisa menggeram pelan ketika gadis itu dengan kerasnya menginjak tangan kiri Suho yang tergeletak di jalannya.
Gadis itu dengan santai memasukkan tangannya ke saku jaket dan berjalan menuju meja resepsionis. Tak lupa ia menyapa Seoyeon untuk menghindari kecurigaan.
“Kau pulang secepat ini? Bagaimana dengan Detektif Kim?” Seoyeon menetakkan kopinya.
“Ia hanya kelelahan, jadi aku memutuskan untuk pulang sebelum turun salju lagi. Itu buruk untuk flu.” Gadis itu segera membungkuk dan meninggalkan kantor kepolisian.
Tak lama setelah itu seorang gadis dengan rok selutut berwarna merah hati dan atasan berwarna putih memasuki Kantor Kepolisian Seoul sambil menenteng jas sewarna roknya dan sebuah tas hitam Gucci. Ia melewati meja resepsionis sambil menyapa Seoyeon. Namun jalannya yang anggun terhenti ketika Seoyeon berteriak sambil berlari menyusulnya.
“Ada apa, Seoyeon-sshi?” Irene membuka mulut ketika Seoyeon telah berdiri tepat di depannya.
“Kenapa rambutmu bisa panjang hanya dalam beberapa menit? Dan bagaimana dengan flu-mu?” Seoyeon berkata sambil terengah-engah.
“Mwo?” Irene terlihat sangat kebingungan.
“Aku sudah berpikir ada yang aneh. Tadi ada seorang wanita yang sangat mirip denganmu hanya saja berambut pendek datang ke sini. Ia menggunakan masker dan baju gelap kemudian menuju ke ruang Detektif Kim. Kupikir itu kau jadi…” Belum sempat Seoyeon menyelesaikan ceritanya, Irene menjatuhkan tasnya tepat di kaki Seoyeon dan berlari menuju ruangan yang sedang ia ceritakan.
Di tengah kebingunan, kesakitan, dan kekagumannya dengan kecepatan Irene di atas sepatu heels 12 cm itu, Seoyeon mengikuti Irene. Beberapa meter sebelum ia sampai di ruang Detektif Kim, Irene menjerit di depan pintu yang terbuka lebar. Segera ia berlari mengikuti Irene. Dan ketika ia sampai di belakang Irene yang telah terduduk lemas, ia hampir saja muntah melihat pemandangan di depannya. Rekan dari kekasihnya tergeletak di sudut ruangan dengan darah di sekelilingnya. Seoyeon segera berteriak untuk bantuan dan beberapa orang polisi datang secepat ia menutup mulutnya.
Setelah mendapat pesan dari Seoyeon, Tao segera menuju ke rumah sakit. Hari telah mulai gelap ketika ia memasuki rumah sakit. Seoyeon dengan masih mengenakan seragam bertugasnya memeluk Irene yang menatap kosong ke kaca ruang ICU. Make Up mahalnya berantakan karena air mata. Meski begitu tak dapat dipungkiri, kecantikan Irene tidak memudar. Setelah lebih mendekat barulah Tao bisa melihat di sisi lain tubuh Seoyeon, seorang gadis bersandar dengan ekspresi nyaris sama dengan Irene. Joo In masih menitikkan air matanya dengan pandangan putus asa. Hanya saja ia tak secantik Irene ataupun Seoyeon yang masih dilengkapi make up meskipun dari matanya Tao dapat melihat guratan kaget di sana. Merasa dipandang, Seoyeon mengarahkan matanya kea rah pandangan itu dan air mata menggelayut manja di pelupuknya ketika ia tau siapa yang memandanginya.
“Tao-sshi.” Seoyeon berdiri dan memeluk Tao yang telah membuka lengan untuknya. Seoyeon hampir saja meluapkan air matanya saat itu juga. Namun dengan kasar Joo In menariknya dari Tao dan menampar kekasihnya.
“Darimana saja kau, bodoh?! Kenapa kau tak bersama kakakku? Jika kau bersamanya ia tak akan seperti ini. Kau benar-benar pria yang jahat, Huang-sshi!” Berkali-kali Joo In menarik kerah Tao dan memukul keras-keras dada lelaki itu. Keterkejutan semakin jelas di mata Seoyeon.
“Kim Joo In-sshi, bagaimana bisa kau berkata seperti itu kepada Detektif Huang?” Seoyeon berusaha menghentikan tindakan Joo In yang menyakiti kekasihnya.
“Diam kau! Kenapa kau terlalu bodoh membiarkan orang asing masuk? Apa kau dididik untuk seperti itu?” Mata Joo In yang berapi-api menatap tajam kea rah Seoyeon.
“Geumanhae, Joo In-sshi. Apa kau akan menyalahkan semua orang?” Suara Tao sangat dalam dan menuntut penuh tuduhan.
“Cukup, Joo In.” Baru saja Joo In mengangkat tangan untuk menampar mulut Tao, Tuan Kim berteriak ke arahnya setelah bertemu dokter.
“Appa?” Joo In mundur selangkah.
“Ini bukan salah siapapun. Sikapmu sangat memalukan. Lebih baik kau duduk dan berharap untuk Joon Myeon seperti yang dilakukan ibumu di dalam sana.” Bentakan itu cukup untuk membuat Joo In meletakkan punggungnya di samping Irene yang sejak pertengkaran itu dimulai telah menitikkan air mata lagi.
“Tuan Kim, Bagaimana keadaan Detektif Kim?” Tao mendekat ke arah Ayah Suho.
“Dokter bilang ada organ yang rusak di perutnya dan lehernya tergores terlalu dalam. Tapi operasinya berjalan cukup lancar. Ia sempat kehilangan banyak darah namun Irene-sshi telah membantu kami untuk itu.” Jelas Tuan Kim panjang lebar.
“Tuan Kim, maaf saya permisi dulu. Sepertinya Nona Yoon cukup terkejut dengan kejadian beruntun hari ini. Saya akan segera kembali.” Tao merengkuh pundak Seoyeon yang secara perlahan mendekat ke arahnya.
“Baiklah. Maafkan sikap Joo In tadi. Ia terlalu shock dengan kejadian hari ini.” Tuan Kim membungkuk sekilas yang kemudian dibalas oleh Tao.
“Ne, saya paham. Kalau begitu saya permisi.” Ujar Tao singkat.
“Jika kembali, tolong bawakan sesuatu untuk Nona Irene. Ia kehilangan banyak darah untuk Joon Myeon.” Bisik Tuan Kim.
“Ne.” Kata Tao sebelum berbalik meninggalkan ruang tunggu ICU.
Tao menggiring Seoyeon ke kursi penumpang mobil, kemudian ia duduk di sebelahnya. Seoyeon masih jarang berkedip sejak kejadian tadi. Tao tau benar bahwa gadisnya telah melawan rasa takutnya dengan ketegaran luar biasa. Tao menyandarkan kepala Seoyeon ke dadanya dan tanpa menunggu lama, kepala Seoyeon terguncang hebat karena sesenggukan.
“Gwencana. Chareseo. Chareseo.” Hanya kata itu yang diulang-ulang Tao sambil menempelkan bibirnya di puncak rambut Seoyeon.
Sudah seminggu berlalu sejak tumbangnya Suho. Lelaki tangguh itu memang belum tersadar, namun ia telah dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Setiap hari Irene selalu menemani Suho sambil membawa buku scetch untuk menggambar desain baju yang akan ia jual. Setau Suho, Irene adalah seorang design lepas yang menjual beberapa karyanya untuk designer lain karena ia tak ingin terkenal dan ia hanya menginginkan uang yang banyak dari kerja kerasnya sendiri.
“Oppa, kumohon bangunlah. Tersenyumlah lagi untukku.” Irene menitikkan air matanya, namun segera ia hapus ketika Tao mengetuk pintu.
“Irene-sshi, kau di sini lagi?” Sapa Tao yang hanya dijawab Irene dengan senyum dan anggukan lemah.
“Apa kau sudah makan siang? Atau mungkin kau mambutuhkan sesuatu yang lain?” Tao menarik kursi lain untuk duduk di sisi lain ranjang.
“Ania, gwencana. Gomawo-yo. Geunde, kenapa kau ke sini di jam kerja Tao-sshi?” Irene tersenyum lagi.
“Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengan keluarga Suho Hyung. Ahh ini canggung, bisakah aku menggunakan banmal?” Tao tersenyum menunggu anggukan dari Irene.
“Tentu saja. Kau kan teman dekat Suho Oppa.” Irene mengangguk sambil meletakkan tangan Suho kembali.
“Jadi karena kau juga dekat dengan Suho Hyung, kupikir akan lebih baik untuk memberitahukan hal ini padamu.” Tao hendak berkata ketika kemudian Nyonya Kim dan Joo In memasuki ruangan.
“Oh ada Tao juga.” Ucap Nyonya Kim. Sedangkan Joo In hanya membungkuk sopan kemudian melingkarkan lengannya ke lengan Irene yang mempersilahkan Nyonya Kim duduk di kursinya.
“Ne, eomonim. Detektif Huang ingin memberitahukan sesuatu kepada kita.” Kata Irene sopan.
“Ini tentang pembunuh Suho Hyung.” Ucapan Tao membuat Nyonya Kim terbelalak. Tao segera menutup mulutnya.
“Lanjutkan! Aku tidak apa-apa.” Nyonya Kim tersenyum lemah.
“Pembunuhnya seorang wanita berusia 24 tahun bernama Lee Jae Yoon biasa dipanggil Yuri. Posturnya benar-benar mirip dengan Irene, itulah kenapa banyak orang yang salah mengenali mereka. Kami telah menemukannya.” Tao berhenti mendadak ketika Joo In berteriak menimpalinya.
“Dimana dia? Oppa, biarkan aku menemuinya! Aku hanya akan menamparnya sekali. Aku tak akan membunuhnya.” Segera Irene menarik pergelangan tangan Joo In agar ia diam dan memberikan kesempatan bagi Tao untuk melanjutkan ceritanya.
“Lebih tepatnya kami telah menemukan mayatnya.” Lanjut Tao membuat ruangan menjadi sunyi seketika, hanya terdengar suara heart detector di samping ranjang.
Beberapa hari setelahnya, Irene mendapat kabar bahwa dua kasus yang sedang ditangani oleh Suho ternyata saling berhubungan. Yang lebih mengejutkan, 4 hari kemudian Tao datang ke ruang rawat inap Suho yang masih belum sadar dengan wajah bersinar-sinar.
“Kami telah menangkap mereka. Sekarang kau dan Suho Hyung sudah aman. Tidak ada lagi yang mengancam nyawa kalian.” Setelah mengucapkan itu, Tao pergi untuk kembali bertugas.
Semalam penuh Irene tak dapat memejamkan matanya. Demi kebaikan dirinya, Nyonya Kim menyarankan untuknya kembali ke apartemen walaupun hanya sehari untuk menenangkan diri. Malam itu juga ia kembali ke apartemen. Dalam kegelapan apartemennya ia dapat melihat siluet tubuh pria itu. Irene sempat berpikir untuk kembali ke rumah sakit. Namun saat ia berbalik, suara lelaki itu terdengar dalam dan menekan otaknya.
“Irene-ahh, lakukan tugas terakhirmu.” Di tengah ketakutannya Irene menekan tombol lampu, namun ia tak melihat siapapun atau hal apapun yang ganjil, kecuali kotak beludru di meja dapurnya.
Hari ini, mendung menggelayut sejak pagi. Ramalan cuaca menyatakan akan terjadi badai ringan di Seoul dan kota-kota terdekat. Tetapi Irene masih tetap berlari menembus angin yang menerjangnya bersama plastik-plastik dan kertas-kertas iklan. Irene merapatkan jaketnya. Ia harus sampai di rumah sakit sebelum terlambat.
Berhari-hari Suho seolah berlari tanpa henti namun ia tetap tak menemui ujung dari ruangan kosong itu. Ia sering mendengar suara Irene memintanya terbangun, ia selalu berteriak menjawab namun Irene seolah tak mendengarnya dan tetap menangis. Hari ini Suho merasa sangat lelah dan ingin berhenti berlari. Ia juga tak mendengar suara Irene lagi sejak berjam-jam lalu. Ia duduk dan menekuk lutunya, membiarkan kepalanya tenggelam di antara kaki dan dadanya. Ia memenjamkan mata sejenak dan suhu di sekitarnya turun drastis. Suho membuka mata dan menemukan dirinya berada di tempat yang berbeda. Tempat ini gelap dan lembab. Suho mendengar suara Irene lagi.
“Oppa, saranghae. Apa kau mau ikut denganku?” Suara Irene lembut namun penuh beban.
“Aku akan menyusulmu setelah ini. Mianhe.” Suho membuka mata dan mendapati Irene mendekatkan wajahnya ke wajah Suho sambil menutup mata. Saat itu ia merasa matanya semakin berat dan semakin berat, napasnya semakin sulit, tubuhnya mati rasa. Dan ia kehilangan sadar dirinya.
Irene tersentak setelah mengangkat bibirnya dari bibir Suho. Ia yakin Suho sempat membalas ciumannya. Irene mematung sejenak. Ia memegang tangan kiri Suho dan merasakan kehangatan perlahan mulai meninggalkannya. Dengan bersimbah air mata, Irene berlari meninggalkan ruangan itu dan menabrak Tao di depan pintu. Irene mengabaikan pertanyaan Tao dan berlari menuju atap. Tao yang terheran-heran hanya membiarkannya dan memasuki ruang rawat inap Suho. Kesadarannya melejit ketika ia mendengar heart detector yang tersambung ke dada Suho menimbulkan dengungan yang berbeda dari biasanya. Bukan dengungan putus-putus melainkan dengungan secara terus menerus. Tao segera menekan tombol emergency dan berlari mengejar Irene.
Irene bersiap melompat ketika pintu di belakangnya terbanting terbuka. Tao berdiri dengan wajah bingung di tengahnya. Campuran antara ekspresi kaget, kecewa, sedih, dan kasihan terlukis di wajah tampan detektif muda itu. Irene tak punya waktu untuk menutupi ekspresi takut dan sedihnya lagi.
“Irene-sshi, wae geure?” Tao perlahan mendekati Irene yang semakin mendekat ke bibir atap bangunan.
“Jangan mendekat!” Irene berteriak di antara angin yang berusaha menjatuhkannya ke arah yang berbeda dari bibir bangunan.
“Siapa kau sebenarnya?” Tao menahan langkahnya.
“Aku orang yang sama seperti Lee Jae Yoon. Seharusnya dari awal kau membiarkanku mati agar aku tak harus membunuhnya, brengsek!” Irene mulai mengumpat, berteriak, dan menangis.
“Irene-ahh, bukan salahmu jika Suho Hyung tidak tertolong. Kembalilah ke sini.” Tao tetap berusaha mendekat.
“Jangan mendekat, bodoh!” Irene jatuh terduduk sambil menangis. Tao tak melewatkan kesempatan ini, ia segera berlari dan memeluk Irene, menjaganya agar tidak jatuh.
“Belum semua dari mereka tertangkap. Jangan berlagak tau atau kau akan mati.” Bisik Irene sangat pelan di telinga Tao sambil melempar ponselnya ke dalam kaos Tao melewati kerahnya. Refleks Tao mundur namun Irene sigap menariknya.
“Jangan salah bertingkah. Mereka mengawasimu.” Bisik Irene.
“Kenapa ia harus mati di pelukanku? Aku baru saja datang dan… dan…dan…” Irene berteriak dan menangis lagi. Tao tau Irene berakting menangis.
“Gwencana. Ini bukan salahmu. Ayo kita kembali.” Tao berusaha berakting sambil menyelamatkan Irene.
“Ani.” Irene berdiri disusul Tao. Tepat saat Tao berdiri, Irene mendorongnya menjauh. “Aku akan menyusul kekasihku.” Wajah Irene menunjukkan keseriusannya sebelum ia mendorong dirinya ke belakang. Menuju tempat yang menurutnya akan menjadi tempat bahagianya bersama Suho.

~~THE END~~

Terima kasih untuk para pembaca yang setia nunggu dan baca EXODUS dari chapter 1-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar