EXODUS
Author : Shin Yoon Ah
Lenght : Chapter
Genre : Romance, Action
Cast : Kim Jeon Myon, Irene (RV), Huang Zi Tao
“Choi Yeong Kun. Sudah kuduga dia orangnya.” Ulang
Tao di belakang Suho.
“Ini tak masuk akal. Bagaimana bisa?” Suho mendengus
dan mengusap kepalanya lagi.
“Hyung, kupikir kau perlu istirahat. Aku akan
membereskan ini. Kau bisa kembali ke kantor.” Tao memberi isyarat kepada
beberapa polisi untuk membawa Suho pergi. Tanpa berkata Suho meninggalkan
tempat itu dan kembali ke kantor.
Suho membanting
tubuhnya ke kursi kantor yang terasa sangat dingin di bawah kulitnya yang
memanas. Ia berteriak sekeras mungkin di ruangannya yang cukup kedap suara,
kemudian memukulkan kepalanya ke meja di depannya. Benturan itu cukup kuat
untuk membuat memar merah di dahinya dilengkapi dengan baret-baret kecil di
tengahnya. Suho membiarkan air mata yang sejak tadi berusaha memberontak jatuh
ke meja di bawah matanya. Pasalnya bukan hanya sekali ini ia kecolongan. Padahal
setiap penggerebekan hanya diketahui oleh orang-orang yang ia percaya.
Irene memastikan
cat merah itu telah menempel di kukunya dengan cantik dan rapi sebelum
membereskan pewarna kukunya. Setelah itu ia menggiring kotak kecil berisi
berbagai warna cat kuku itu ke lemarinya paling bawah. Irene harus menyingkap
beberapa helai jaket yang menjuntai dari atas sampai bawah menutupi jalan masuk
kemudian mendorong separuh tubuhnya masuk ke lemari untuk menaruh kotak
berharganya itu di sudut agar tak mudah tersenggol dan jatuh menumpahkan segala
isinya.
Irene baru saja
melepas genggamannya dari benda itu ketika ponselnya berbunyi nyaring
membuatnya terkejut dan kepalanya menabrak papan di atasnya. Segera ia menarik
diri dan menuju dapur, tempat ia menaruh ponselnya terakhir kali. Tetapi ketika
ia sampai di dapur, dering ponsel itu telah berhenti. Ia baru akan menaruh
ponselnya sebelum terdengar dering notifikasi line dari benda itu.
Yoon-Seoyeon :
Irene-sshi, apa yang terjadi dengan Detektif Kim? Wajahnya terlihat seperti ia
akan memakan orang. Apa kalian bertengkar?
Mengabaikan pesan
itu, Irene segera mencari kontak Suho dan menghubunginya dengan video call. Lama
ia menunggu sampai ia harus menghubungi dua kali sebelum Suho mengangkatnya
dengan wajah terkejut dan kalimat yang pertama kali ia ucapkan adalah : “ini
video call?” dengan suara pelan seolah berkata pada dirinya sendiri.
“Oppa, wae
geure? Kau menangis?” Refleks Irene menanyakan hal itu karena ie melihat katung
mata Suho membengkak dan hidungnya memerah.
“Ania. Aku hanya…”
“Apa yang
terjadi dengan dahimu?” Kepanikan Irene memotong perkataan Suho.
“Aku hanya jatuh.. tenang saja!”
“Aku akan ke
sana membawa obat. Tunggu di sana dan jangan berbuat aneh-aneh.” Irene tak
menggubris Suho dan malah berlarian mengambil tas, jaket, dan barang-barang
lain sebelum ia mematikan sambungan telepon mereka.
“Ahh gadis ini.”
Suho mendesah pelan sambil tersenyum kecil.
Ia menatap layar
ponselnya beberapa saat sambil tersenyum, namun is terkejut ketika layar
ponselnya mati. Wajah yang terantul di sana benar-benar hancur. Ada sisa air
mata di pipinya, kantung matanya melebar, dan yang lebih parah dahinya merah
dan tergores. Suho segera berdiri sambil meraih handuk kecil di laci meja
kerjanya kemudian menghambur keluar menuju kamar mandi.
Seorang gadis
mungil dengan celana jeans biru laut dan jaket musim dingin tebal khas musim dingin
berwarna hitam memasuki Kantor Kepolisian Seoul. Dengan santai ia melewati meja
resepsionis yang dihuni oleh tiga wanita. Salah seorang dari mereka terdengar
berteriak kepada gadis tersebut beberapa kali dengan akrab. Perlahan gadis itu
menoleh dan mendekat.
“Irene-sshi.” Ulang
gadis yang menggunakan name tag bertuliaskan Yoon Seoyeon itu.
“Ne? Maaf …em… Seoyeon-ahh
aku baru sadar kau memanggilku.” Jawab gadis itu canggung.
“Ahh gwencana. Kau
pasti datang menemui Detektif Kim karena pesanku itu kan? Tadinya aku khawatir
kau tak akan datang. Detektif Kim benar-benar kacau.” Jelas Seoyeon panjang
lebar.
“Eoh. Kau benar.”
Gadis itu menjawab seadanya.
“Geunde, Irene-ahh,
kenapa kau memakai masker?”
“Ahh aku sedang
flu. Ini kan musim dingin yang ekstrim. Kau juga harus hati-hati Seoyeon-ahh.”
“Kau benar. Jadi
itu alasannya kau memakai jaket itu? Kupikir kau selalu memakai jaket mahal dan
fashion terbaru.” Seoyeon tersenyum manis.
Gadis itu hanya
tersenyum dan perlahan menurunkan penutup kepalanya dan membiarkannya
tergantung di jaket.
“Wahhh…kau
memotong rambutmu!!! Kau tetap tidak berubah, masih tetap cantik.” Mata Seoyeon
berbinar-binar.
“Ne. Gomapseumnida.
Emm… sepertinya aku harus pergi sekarang. Detektif Kim pasti menungguku.” Gadis
itu segera menyingkir dari hadapan Seoyeon yang masing tersenyum lebar.
Suho membasuh
mukanya secara cepat beberapa kali hingga ia bisa memastikan wajahnya bersih
tanpa noda. Meskipun tak dapat dipungkiri luka di dahinya berdenyut ringan,
namun ia masih tak berhenti menggosok wajahnya hingga tak ada bekas air mata di
sana.
Sambil mengelap
wajahnya perlahan, Suho berjalan menuju ruang kerjanya. Meskipun hatinya
bergemuruh dan kepalanya serasa hampir pecah, ia tak boleh terlihat lemah di
mata Irene. Suho menanamkan pada diri sendiri bahwa ia harus menjaga
kekasihnya. Apalagi kekasihnya kali ini merupakan gadis yang juga sangat
disukai oleh Joo In.
Suho membuka
pintu dan mendapati kursinya telah berbalik ke arah jendela dan tampak olehnya
puncak kepala seorang gadis berambut pirang dari balik kursi itu. Suho
tersenyum simpul, Irene benar-benar datang ke kantornya karena khawatir. Perlahan
ia mendekati kursi itu dan membaliknya. Matanya membulat ketika menyadari bahwa
itu bukan Irene, namun keterkejutannya terlambat. Ia merasakan benda dingin
merobek sebelah kanan perutnya. Seketika itu juga benda itu ditarik keluar oleh
si empunya pisau. Suho terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi luka robek
yang telah mengeluarkan banyak darah itu.
Tanpa memberi
kesempatan bagi Suho untuk bernapas, dengan kejam gadis berambut pendek itu
merobek leher Suho. Darah segar kembali merembes keluar dari luka itu. Suho
berusaha bernapas namun ia malah tersedak darahnya sendiri. Ia berusaha meraih
pistol yang tergantung bersama jasnya namun gadis itu menendang tangan Suho
yang kini belepotan darah. Tendangan dari gadis bermasker hitam itu bukan hanya
menyingkirkan tangan Suho tetapi juga membuat keseimbangan Suho oleng dan
tubuhnya terjatuh. Suho tak dapat berkutik lagi. Ia hanya bisa melihat gadis
itu berjalan meninggalkannya di lantai yang dingin. Bahkan ia hanya bisa
menggeram pelan ketika gadis itu dengan kerasnya menginjak tangan kiri Suho
yang tergeletak di jalannya.
Gadis itu dengan
santai memasukkan tangannya ke saku jaket dan berjalan menuju meja resepsionis.
Tak lupa ia menyapa Seoyeon untuk menghindari kecurigaan.
“Kau pulang
secepat ini? Bagaimana dengan Detektif Kim?” Seoyeon menetakkan kopinya.
“Ia hanya kelelahan,
jadi aku memutuskan untuk pulang sebelum turun salju lagi. Itu buruk untuk flu.”
Gadis itu segera membungkuk dan meninggalkan kantor kepolisian.
Tak lama setelah
itu seorang gadis dengan rok selutut berwarna merah hati dan atasan berwarna
putih memasuki Kantor Kepolisian Seoul sambil menenteng jas sewarna roknya dan
sebuah tas hitam Gucci. Ia melewati meja resepsionis sambil menyapa Seoyeon. Namun
jalannya yang anggun terhenti ketika Seoyeon berteriak sambil berlari
menyusulnya.
“Ada apa,
Seoyeon-sshi?” Irene membuka mulut ketika Seoyeon telah berdiri tepat di
depannya.
“Kenapa rambutmu
bisa panjang hanya dalam beberapa menit? Dan bagaimana dengan flu-mu?” Seoyeon
berkata sambil terengah-engah.
“Mwo?” Irene terlihat
sangat kebingungan.
“Aku sudah
berpikir ada yang aneh. Tadi ada seorang wanita yang sangat mirip denganmu hanya
saja berambut pendek datang ke sini. Ia menggunakan masker dan baju gelap
kemudian menuju ke ruang Detektif Kim. Kupikir itu kau jadi…” Belum sempat
Seoyeon menyelesaikan ceritanya, Irene menjatuhkan tasnya tepat di kaki Seoyeon
dan berlari menuju ruangan yang sedang ia ceritakan.
Di tengah kebingunan,
kesakitan, dan kekagumannya dengan kecepatan Irene di atas sepatu heels 12 cm
itu, Seoyeon mengikuti Irene. Beberapa meter sebelum ia sampai di ruang Detektif
Kim, Irene menjerit di depan pintu yang terbuka lebar. Segera ia berlari mengikuti
Irene. Dan ketika ia sampai di belakang Irene yang telah terduduk lemas, ia
hampir saja muntah melihat pemandangan di depannya. Rekan dari kekasihnya
tergeletak di sudut ruangan dengan darah di sekelilingnya. Seoyeon segera
berteriak untuk bantuan dan beberapa orang polisi datang secepat ia menutup
mulutnya.
Setelah mendapat
pesan dari Seoyeon, Tao segera menuju ke rumah sakit. Hari telah mulai gelap
ketika ia memasuki rumah sakit. Seoyeon dengan masih mengenakan seragam
bertugasnya memeluk Irene yang menatap kosong ke kaca ruang ICU. Make Up
mahalnya berantakan karena air mata. Meski begitu tak dapat dipungkiri,
kecantikan Irene tidak memudar. Setelah lebih mendekat barulah Tao bisa melihat
di sisi lain tubuh Seoyeon, seorang gadis bersandar dengan ekspresi nyaris sama
dengan Irene. Joo In masih menitikkan air matanya dengan pandangan putus asa. Hanya
saja ia tak secantik Irene ataupun Seoyeon yang masih dilengkapi make up
meskipun dari matanya Tao dapat melihat guratan kaget di sana. Merasa
dipandang, Seoyeon mengarahkan matanya kea rah pandangan itu dan air mata
menggelayut manja di pelupuknya ketika ia tau siapa yang memandanginya.
“Tao-sshi.”
Seoyeon berdiri dan memeluk Tao yang telah membuka lengan untuknya. Seoyeon hampir
saja meluapkan air matanya saat itu juga. Namun dengan kasar Joo In menariknya
dari Tao dan menampar kekasihnya.
“Darimana saja
kau, bodoh?! Kenapa kau tak bersama kakakku? Jika kau bersamanya ia tak akan
seperti ini. Kau benar-benar pria yang jahat, Huang-sshi!” Berkali-kali Joo In
menarik kerah Tao dan memukul keras-keras dada lelaki itu. Keterkejutan semakin
jelas di mata Seoyeon.
“Kim Joo
In-sshi, bagaimana bisa kau berkata seperti itu kepada Detektif Huang?” Seoyeon
berusaha menghentikan tindakan Joo In yang menyakiti kekasihnya.
“Diam kau! Kenapa
kau terlalu bodoh membiarkan orang asing masuk? Apa kau dididik untuk seperti
itu?” Mata Joo In yang berapi-api menatap tajam kea rah Seoyeon.
“Geumanhae, Joo
In-sshi. Apa kau akan menyalahkan semua orang?” Suara Tao sangat dalam dan menuntut
penuh tuduhan.
“Cukup, Joo In.”
Baru saja Joo In mengangkat tangan untuk menampar mulut Tao, Tuan Kim berteriak
ke arahnya setelah bertemu dokter.
“Appa?” Joo In
mundur selangkah.
“Ini bukan salah
siapapun. Sikapmu sangat memalukan. Lebih baik kau duduk dan berharap untuk
Joon Myeon seperti yang dilakukan ibumu di dalam sana.” Bentakan itu cukup
untuk membuat Joo In meletakkan punggungnya di samping Irene yang sejak
pertengkaran itu dimulai telah menitikkan air mata lagi.
“Tuan Kim, Bagaimana
keadaan Detektif Kim?” Tao mendekat ke arah Ayah Suho.
“Dokter bilang
ada organ yang rusak di perutnya dan lehernya tergores terlalu dalam. Tapi operasinya
berjalan cukup lancar. Ia sempat kehilangan banyak darah namun Irene-sshi telah
membantu kami untuk itu.” Jelas Tuan Kim panjang lebar.
“Tuan Kim, maaf
saya permisi dulu. Sepertinya Nona Yoon cukup terkejut dengan kejadian beruntun
hari ini. Saya akan segera kembali.” Tao merengkuh pundak Seoyeon yang secara
perlahan mendekat ke arahnya.
“Baiklah. Maafkan
sikap Joo In tadi. Ia terlalu shock dengan kejadian hari ini.” Tuan Kim
membungkuk sekilas yang kemudian dibalas oleh Tao.
“Ne, saya paham.
Kalau begitu saya permisi.” Ujar Tao singkat.
“Jika kembali,
tolong bawakan sesuatu untuk Nona Irene. Ia kehilangan banyak darah untuk Joon
Myeon.” Bisik Tuan Kim.
“Ne.” Kata Tao
sebelum berbalik meninggalkan ruang tunggu ICU.
Tao menggiring
Seoyeon ke kursi penumpang mobil, kemudian ia duduk di sebelahnya. Seoyeon
masih jarang berkedip sejak kejadian tadi. Tao tau benar bahwa gadisnya telah
melawan rasa takutnya dengan ketegaran luar biasa. Tao menyandarkan kepala
Seoyeon ke dadanya dan tanpa menunggu lama, kepala Seoyeon terguncang hebat
karena sesenggukan.
“Gwencana. Chareseo.
Chareseo.” Hanya kata itu yang diulang-ulang Tao sambil menempelkan bibirnya di
puncak rambut Seoyeon.
Sudah seminggu
berlalu sejak tumbangnya Suho. Lelaki tangguh itu memang belum tersadar, namun
ia telah dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Setiap hari Irene selalu
menemani Suho sambil membawa buku scetch untuk menggambar desain baju yang akan
ia jual. Setau Suho, Irene adalah seorang design lepas yang menjual beberapa
karyanya untuk designer lain karena ia tak ingin terkenal dan ia hanya
menginginkan uang yang banyak dari kerja kerasnya sendiri.
“Oppa, kumohon
bangunlah. Tersenyumlah lagi untukku.” Irene menitikkan air matanya, namun segera
ia hapus ketika Tao mengetuk pintu.
“Irene-sshi, kau
di sini lagi?” Sapa Tao yang hanya dijawab Irene dengan senyum dan anggukan
lemah.
“Apa kau sudah
makan siang? Atau mungkin kau mambutuhkan sesuatu yang lain?” Tao menarik kursi
lain untuk duduk di sisi lain ranjang.
“Ania, gwencana.
Gomawo-yo. Geunde, kenapa kau ke sini di jam kerja Tao-sshi?” Irene tersenyum
lagi.
“Sebenarnya ada
yang ingin aku bicarakan dengan keluarga Suho Hyung. Ahh ini canggung, bisakah
aku menggunakan banmal?” Tao tersenyum menunggu anggukan dari Irene.
“Tentu saja. Kau
kan teman dekat Suho Oppa.” Irene mengangguk sambil meletakkan tangan Suho
kembali.
“Jadi karena kau
juga dekat dengan Suho Hyung, kupikir akan lebih baik untuk memberitahukan hal
ini padamu.” Tao hendak berkata ketika kemudian Nyonya Kim dan Joo In memasuki
ruangan.
“Oh ada Tao
juga.” Ucap Nyonya Kim. Sedangkan Joo In hanya membungkuk sopan kemudian
melingkarkan lengannya ke lengan Irene yang mempersilahkan Nyonya Kim duduk di
kursinya.
“Ne, eomonim. Detektif
Huang ingin memberitahukan sesuatu kepada kita.” Kata Irene sopan.
“Ini tentang
pembunuh Suho Hyung.” Ucapan Tao membuat Nyonya Kim terbelalak. Tao segera
menutup mulutnya.
“Lanjutkan! Aku tidak
apa-apa.” Nyonya Kim tersenyum lemah.
“Pembunuhnya
seorang wanita berusia 24 tahun bernama Lee Jae Yoon biasa dipanggil Yuri. Posturnya
benar-benar mirip dengan Irene, itulah kenapa banyak orang yang salah mengenali
mereka. Kami telah menemukannya.” Tao berhenti mendadak ketika Joo In berteriak
menimpalinya.
“Dimana dia? Oppa,
biarkan aku menemuinya! Aku hanya akan menamparnya sekali. Aku tak akan
membunuhnya.” Segera Irene menarik pergelangan tangan Joo In agar ia diam dan
memberikan kesempatan bagi Tao untuk melanjutkan ceritanya.
“Lebih tepatnya
kami telah menemukan mayatnya.” Lanjut Tao membuat ruangan menjadi sunyi
seketika, hanya terdengar suara heart detector di samping ranjang.
Beberapa hari
setelahnya, Irene mendapat kabar bahwa dua kasus yang sedang ditangani oleh
Suho ternyata saling berhubungan. Yang lebih mengejutkan, 4 hari kemudian Tao
datang ke ruang rawat inap Suho yang masih belum sadar dengan wajah
bersinar-sinar.
“Kami telah
menangkap mereka. Sekarang kau dan Suho Hyung sudah aman. Tidak ada lagi yang
mengancam nyawa kalian.” Setelah mengucapkan itu, Tao pergi untuk kembali bertugas.
Semalam penuh
Irene tak dapat memejamkan matanya. Demi kebaikan dirinya, Nyonya Kim
menyarankan untuknya kembali ke apartemen walaupun hanya sehari untuk
menenangkan diri. Malam itu juga ia kembali ke apartemen. Dalam kegelapan
apartemennya ia dapat melihat siluet tubuh pria itu. Irene sempat berpikir
untuk kembali ke rumah sakit. Namun saat ia berbalik, suara lelaki itu
terdengar dalam dan menekan otaknya.
“Irene-ahh,
lakukan tugas terakhirmu.” Di tengah ketakutannya Irene menekan tombol lampu,
namun ia tak melihat siapapun atau hal apapun yang ganjil, kecuali kotak
beludru di meja dapurnya.
Hari ini,
mendung menggelayut sejak pagi. Ramalan cuaca menyatakan akan terjadi badai
ringan di Seoul dan kota-kota terdekat. Tetapi Irene masih tetap berlari
menembus angin yang menerjangnya bersama plastik-plastik dan kertas-kertas
iklan. Irene merapatkan jaketnya. Ia harus sampai di rumah sakit sebelum
terlambat.
Berhari-hari
Suho seolah berlari tanpa henti namun ia tetap tak menemui ujung dari ruangan
kosong itu. Ia sering mendengar suara Irene memintanya terbangun, ia selalu
berteriak menjawab namun Irene seolah tak mendengarnya dan tetap menangis. Hari
ini Suho merasa sangat lelah dan ingin berhenti berlari. Ia juga tak mendengar
suara Irene lagi sejak berjam-jam lalu. Ia duduk dan menekuk lutunya,
membiarkan kepalanya tenggelam di antara kaki dan dadanya. Ia memenjamkan mata
sejenak dan suhu di sekitarnya turun drastis. Suho membuka mata dan menemukan
dirinya berada di tempat yang berbeda. Tempat ini gelap dan lembab. Suho
mendengar suara Irene lagi.
“Oppa,
saranghae. Apa kau mau ikut denganku?” Suara Irene lembut namun penuh beban.
“Aku akan menyusulmu
setelah ini. Mianhe.” Suho membuka mata dan mendapati Irene mendekatkan
wajahnya ke wajah Suho sambil menutup mata. Saat itu ia merasa matanya semakin
berat dan semakin berat, napasnya semakin sulit, tubuhnya mati rasa. Dan ia
kehilangan sadar dirinya.
Irene tersentak
setelah mengangkat bibirnya dari bibir Suho. Ia yakin Suho sempat membalas
ciumannya. Irene mematung sejenak. Ia memegang tangan kiri Suho dan merasakan
kehangatan perlahan mulai meninggalkannya. Dengan bersimbah air mata, Irene
berlari meninggalkan ruangan itu dan menabrak Tao di depan pintu. Irene
mengabaikan pertanyaan Tao dan berlari menuju atap. Tao yang terheran-heran
hanya membiarkannya dan memasuki ruang rawat inap Suho. Kesadarannya melejit
ketika ia mendengar heart detector yang tersambung ke dada Suho menimbulkan
dengungan yang berbeda dari biasanya. Bukan dengungan putus-putus melainkan
dengungan secara terus menerus. Tao segera menekan tombol emergency dan berlari
mengejar Irene.
Irene bersiap
melompat ketika pintu di belakangnya terbanting terbuka. Tao berdiri dengan
wajah bingung di tengahnya. Campuran antara ekspresi kaget, kecewa, sedih, dan
kasihan terlukis di wajah tampan detektif muda itu. Irene tak punya waktu untuk
menutupi ekspresi takut dan sedihnya lagi.
“Irene-sshi, wae
geure?” Tao perlahan mendekati Irene yang semakin mendekat ke bibir atap
bangunan.
“Jangan mendekat!”
Irene berteriak di antara angin yang berusaha menjatuhkannya ke arah yang
berbeda dari bibir bangunan.
“Siapa kau
sebenarnya?” Tao menahan langkahnya.
“Aku orang yang
sama seperti Lee Jae Yoon. Seharusnya dari awal kau membiarkanku mati agar aku
tak harus membunuhnya, brengsek!” Irene mulai mengumpat, berteriak, dan
menangis.
“Irene-ahh,
bukan salahmu jika Suho Hyung tidak tertolong. Kembalilah ke sini.” Tao tetap
berusaha mendekat.
“Jangan
mendekat, bodoh!” Irene jatuh terduduk sambil menangis. Tao tak melewatkan
kesempatan ini, ia segera berlari dan memeluk Irene, menjaganya agar tidak
jatuh.
“Belum semua
dari mereka tertangkap. Jangan berlagak tau atau kau akan mati.” Bisik Irene
sangat pelan di telinga Tao sambil melempar ponselnya ke dalam kaos Tao
melewati kerahnya. Refleks Tao mundur namun Irene sigap menariknya.
“Jangan salah
bertingkah. Mereka mengawasimu.” Bisik Irene.
“Kenapa ia harus
mati di pelukanku? Aku baru saja datang dan… dan…dan…” Irene berteriak dan
menangis lagi. Tao tau Irene berakting menangis.
“Gwencana. Ini bukan
salahmu. Ayo kita kembali.” Tao berusaha berakting sambil menyelamatkan Irene.
“Ani.” Irene
berdiri disusul Tao. Tepat saat Tao berdiri, Irene mendorongnya menjauh. “Aku
akan menyusul kekasihku.” Wajah Irene menunjukkan keseriusannya sebelum ia
mendorong dirinya ke belakang. Menuju tempat yang menurutnya akan menjadi
tempat bahagianya bersama Suho.
~~THE END~~
Terima kasih untuk para pembaca yang setia nunggu dan baca EXODUS dari chapter 1-5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar