EXODUS
Author : Shin Yoon Ah
Lenght : Chapter
Genre : Romance, Action
Cast : Kim Jeon Myon, Irene (RV), Huang Zi Tao
Rona pucat sempat tergambar di wajah es Irene. Namun
ekspresi itu tertutupi dengan baik oleh dingin dan kakunya wajah Irene. Hanya
saja Suho yang terlalu memperhatikan Irene sempat melihat emosi itu menjalar di
wajah Irene.
“Wae? Neo apa? Kau agak pucat.” Bisik Suho.
Belum sempat Irene menjawab, Tao dan beberapa
penyidik memasuki ruangan rapat. Mereka membagikan setumpuk berkas kepada
beberapa detektif di ruangan itu. Sedangkan Tao mendekati Suho dan membisikkan
sesuatu. Saat itu juga Suho berdiri untuk mengikuti Tao dan para penyidik
keluar dari ruangan meninggalkan, Irene di dalam ruang rapat bersama para
detektif senior.
“Oppa, eoddiga?” Raut panik tergambar sekilas di
wajah Irene membuatnya semakin terlihat pucat.
“Sebentar saja.” Suho melepaskan tangan Irene yang
memegang erat bahunya dan segera menyusul Tao.
Kehangatan yang tersisa di wajah Irene menguap
seketika. Ia tampak seperti penjaga bank dalam film Harry Potter. Ia tak
bersuara ketika tak ditanya dan ia hanya menjawab singkat untuk setiap
pertanyaan.
“Kenapa mendadak?” Suho setengah berlari mengikuti
langkah lebar kaki Tao.
“Kami mendapat laporan dari pergerakan Target B,
Hyung.” Target A adalah penyelundupan narkoba. Sedangkan Target B adalah
penjualan manusia.
“Jinjja?” Ada secercah sinar menaungi wajah Suho.
“Lihat ini! Seorang mata-mata kita berhasil
menangkap gambar yang cukup jelas beserta tempatnya.” Tao memindahkan layar
laptop agar Suho dapat leluasa melihat foto-foto yang ada di sana.
“Cari tau siapa orang ini secepatnya. Lacak lokasi
mereka. Ingat! Lokasi mereka. Mereka semua.” Setelah beberapa penekanan itu
Suho berbalik menuju ruang rapat kembali.
“Hyung, neo eoddiga?” Ucapan Tao menghentikan
langkah cepat Suho.
“Menemani Irene. Ia pasti ketakutan.”
“Sebaiknya kau tetap di sini. Salah satu agen sedang
menyelidiki orang itu. Aku tak nyaman jika harus keluar masuk ruang rapat hanya
untuk menjemputmu. Dan lagi di sana ia dikelilingi detektif senior
professional. Ia aman di sana.” Tao menarik kursi untuk Suho.
“Kau benar. Mungkin aku terlalu berlebihan.” Ucap
Suho kemudian dan berjalan ke arah Tao.
Waktu berjalan terlalu lambat bagi Suho dan Irene.
20 menit terasa seperti 2 jam. Suho menggoyang-goyangkan kakinya resah. Gerakan
kakinya yang sangat mengganggu itu akhirnya berhenti ketika Tao pergi dan
kembali membawa beberapa lembar kertas.
“Kita telah menemukannya, Hyung. Kita juga telah
mencetak gambar yang didapat. Namanya Choi Yeong Kun. Ada satu tahi lalat besar
di dagu kirinya. Usia 32 tahun. Semua sanak saudara telah meninggal. Dia
terakhir tercatat tinggal di Busan.” Dekte Tao di depan Suho.
“Kalian bekerja sangat cepat. Kita akan melakukan
penangkapan besok. Sampai saat itu, awasi tempat persembunyian mereka. Laporkan
seriap pergerakan, jangan ada yang tertinggal. Aku akan kembali ke ruang rapat
untuk membahas Target A.” Ucap Suho sebelum ia berlari dan tak sempat
dihentikan Tao.
Suho memasuki ruang rapat dengan napas memburu. Ia
membuka pintu sedikit terlalu keras hingga semua mata tertuju kepadanya. Ia
meminta maaf dengan sopan sambil menutup pintu di belakangnya. Matanya
mengelilingi ruangan mencari wanitanya. Suho duduk di kursi yang tadinya
diduduki Irene. Masih hangat. Belum lama gadis itu pergi. 5 menit Suho menunggu
tetapi Irene tak kunjung kembali. Apakah Irene marah padanya? Karna penasaran
ia menggeser kursinya menuju salah seorang detektif terdekat.
“Sunbae, apa kau melihat Nona Irene?” Bisik Suho.
“Wanita yang tadi di sini? Ia keluar setelah
mendapat telepon. Ia bilang akan kembali. Tunggu saja!” Detektif itu menjawab
dengan sedikit gusar karena ia merasa terganggu dengan Suho.
“Ne. Mianhamnida.” Suho menarik kursinya menjauh.
Tak lama kemudian seorang gadis berambut pirang
memasuki ruangan. Garis wajahnya yang dingin segera menghilang digantikan
senyum musim panas yang menghangatkan ketika matanya beradu dengan mata Suho.
“Kau menungguku?” Kata Irene duduk di kursi bekas
Suho.
“Eoh. Darimana kau?” Suho mencondongkan tubuhnya.
“Aku mendapat telepon dari kakak sepupuku.” Irene
menggoyangkan ponselnya pelan sebelum memasukkannya ke tas.
Suho hendak berbicara ketika kemudian salah seorang
detektif senior yang berada di ujung meja berdiri dan mengatakan kesimpulan
rapat hari ini. Ada beberapa kali ia menyebut nama Irene. Setiap kali namanya disebut,
semakin kaku pula wajah Irene. Semua perhatian tertuju pada pemimpin rapat itu
hingga tak ada yang menyadari ekspresi Irene, termasuk Suho. Setelah semua
hasil dibacakan, si pemimpin rapat yang terlihat letih di usianya yang
menginjak 40 tahun itu menutup rapat diiringi hembusan lega dari para peserta
rapat, termasuk Suho. Perlahan wajah Irene mengendur di bawah tatapan Suho.
“Oppa, apa kau sudah sarapan?” Irene berkata sambil
memungut tasnya di atas meja.
“Ajjik.” Ucap Suho singkat diiringi senyum manisnya.
“Wahh.. kau benar-benar baik pada cacing-cacing di
perutmu. Apa kau sedang diet?” Ejek Irene di sebelah Suho yang sedang
membereskan berkas-berkasnya di meja.
“Aku tidak ada napsu makan. Aku akan makan jika aku
lapar.” Suho tersenyum lebih lebar lagi mendengar decakan Irene.
“Kau harus makan! Aku akan menemanimu. Aku ingin
datang ke sebuah restaurant baru di dekat stasiun. Mungkin kau tak napsu makan
karena sendirian.” Irene merangkul lengan kiri Suho saat mereka berjalan ke
kantor Suho untuk mengambil jas Irene.
“Apa kau bisa makan dengan baju bekas kopi?” Suho
melirik ke baju Irene singkat.
“Kita bisa berbelanja setelahnya.” Irene tersenyum
sumringah membuat Suho mau tak mau tertawa keras.
“Maafkan aku. Tapi aku benar-benar tak ada waktu.
Aku harus menyelidiki kasus lain yang sama pentingnya dengan kasusmu setelah
ini bersama Tao.” Suho tersenyum namun matanya penuh penyesalan.
Sepanjang perjalanan menuju kantor Suho tak ada
percakapan apapun lagi. Irene kehilangan senyumnya, bahkan ia cenderung menekuk
bibirnya ke bawah. Suho membukakan pintu untuk Irene. Setelah memakai jas musim
dinginnya, Irene berdiri di depan kaca besar di sudut ruangan. Beberapa saat ia
hanya mengamati dirinya sendiri tanpa senyuman. Suho mendekati Irene dan
memeluknya. Irene berbalik membalas pelukan Suho.
“Mianhae, lain kali aku akan menemanimu.” Ucap Suho
sambil menghirup dalam aroma rambut Irene di bawah dagunya.
“Na jinjja beogosipeo.” Irene mempererat pelukannya.
Membiarkan kepalanya bersandar seutuhnya ke dada Suho.
“Mianhae, Irene-ah.” Setelah mencium puncak kepala
Irene, Suho melepaskan pelukannya dan memegang bahu Irene. Dipandangnya wajah
Irene lekat-lekat dan saat itulah ia melihat sebutir air mata berusaha
memberontak keluar dari mata gadisnya.
“Uljima.” Suho mengusap mata Irene.
“Oppa, kau menganggapku seperti apa? Apa aku
bagimu?” Mata Irene menusuk tepat ke mata Suho.
Meskipun sedikit mendongak, mata itu tak luput mengenai hati Suho
membuatnya merasa bersalah.
“Apa maksudmu?” Suho merendahkan tubuhnya hingga matanya
dan mata Irene hampir sejajar.
“Apa aku hanya saksi mata? Apa setelah kasus ini
selesai hubungan kita juga selesai? Apakah aku tak bisa lebih penting dari
itu?” Air mata baru berhasil membobol benteng pertahanan Irene. Suho segera
memeluk Irene.
“Uljima. Uljima. Hubungan kita tidak seperti itu,
Irene-ah. Kau bukan hanya saksi mata. Aku malah berharap kasus ini segera
selesai agar aku dapat leluasa denganmu. Aku tak ingin kau ada di posisi
berbahaya seperti ini.” Perkataan Suho membuat Irene menegang sesaat.
“Jinjja?” Suara Irene bergetar di dada Suho.
“Eoh. Jinjja-ya. Jika aku bisa aku akan menemanimu.
Tapi tidak hari ini. Mianhae.” Suho mengecup puncak kepala Irene dan melepas
pelukannya ketika hanya isak yang tersisa dari gadis itu.
“Setidaknya antar aku ke lobby, paboya.” Ucap Irene
di sela sesenggukan yang mengguncangkan bahunya keras.
“Araseo. Araseo. Usap dulu ingusmu.” Suho mengoper
kotak tishu ke arah Irene.
“OPPA!!!” Irene menghentakkan kakinya membuat Suho
tertawa keras sambil mengenakan jas hitamnya untuk menghindari hawa dingin.
Irene masih menekuk wajahnya selama berjalan menuju
lobby. Hal ini membuat Suho semakin bernapsu mengganggunya. Berkali-kali Irene
mencubit gemas pinggang Suho, namun Suho tak pernah berhenti menggodanya. Dari
kejauhan di lobby, Irene dapat melihat Tao sedang bercanda dengan Seo Yeon.
Saat itulah wajah murung Irene mendapat pencerahan.
“Tao-sshi.” Panggil Irene sambil berlari
meninggalkan Suho yang rangkulan tangannya terlepas dari Irene.
“Hya!! Irene!” Suho segera membekap mulutnya ketika
ia sadar ia berada di kantor. Untung saja saat itu suasana sedang sangat sepi
karena sedang jam makan siang.
“Annyeong, Seo Yeon-ah.” Irene melambai pelan kea
rah Seo Yeon.
“Tao-sshi, bisakah Suho-sshi pergi makan siang
keluar sebentar?” Irene tersenyum di depan Tao.
“Andwe-yo. Sepertinya Detektif Kim sedang sibuk jadi
bahkan ia tak sempat makan siang.” Ucap Tao acuh tak acuh.
“Jika Detektif Kim tak bisa kurasa kau juga tak
bisa, Detektif Huang.” Seo Yeon menjawab tajam bahkan sebelum Irene dan Suho
yang baru sampai menjawab.
“Ahh.. kalau hanya di kantin kurasa bisa.” Tao
sedikit canggung.
“Irene-ah, kau pasti kedinginan dengan kemeja basah
itu. Aku akan meminjamimu seragam lamaku. Aku menaruhnya di loker.” Seo Yeon
segera menarik tangan Irene menjauh.
“Kenapa lelaki selalu kalah dari wanita?” Suho
tertawa di belakang Tao.
“Apa maksudmu kalah? Apa yang Irena lakukan
terhadapmu? Dan kenapa dengan baju basah?” Tao menatap Suho dengan tatapan
menyelidik.
“Molla.” Ucap Suho singkat.
Setelah merasa member Irene makan yang cukup di
kantin dan meyakinkannya untuk pulang seorang diri dengan taksi, Suho kembali
ke kantornya menemui setumpuk berkas yang harus ia selesaikan.
“Hah.. hari ini terasa begitu panjang.” Bisik Suho.
Keesokan paginya, setelah memastikan bahwa ia telah
berpesan kepada Irene untuk tidak mencarinya, Suho dan banyak polisi lain
bergegas menuju tempat persembunyian oknum penjualan manusia. Tao tidak dapat
menemaninya karena ia harus mengurus kasus dari Departemen Pembunuhan yang
meminta bantuan pada Tim Khusus.
Dengan persiapan yang sangat matang dan dipimpin
oleh Suho sendiri, mereka bergerak cepat dan tepat. Namun saat mereka mendobrak
masuk gedung tua yang aksesnya terbatas itu, di dalamnya tak ada apapun.
Kondisinya sama seperti penggrebekan apartemen tempat persembunyian para
penyelundup narkoba dulu, tak bernyawa. Hanya saja kali ini ruangan-ruangan di
dalamnya cukup rapi untuk ukuran tempat dimana baru saja terjadi kegiatan
“terburu-buru” melarikan diri.
“Geledah semuanya!” Teriak Suho penuh amarah. Ia
mengusap wajahnya dengan kasar.
“Detektif Kim, Detektif Huang ingin berbicara dengan
anda.” Salah seorang polisi menyerahkan ponsel kepada Suho.
“Wae?” Suara Suho kentara sekali menahan amarah.
“Apa sesuatu
tidak berjalan lancar?” Di seberang sana terdengar suara khawatir khas Tao.
“Kita terlambat. Tempat ini kosong.” Suho
terengah-engah menahan diri agar tak meledak saat itu juga, nyaris di depan
Tao.
“Aku tau ini
bukan saat yang tepat. Tapi Detektif Kim, sepertinya kau harus ke sini.
Sekarang juga.” Penekatan waktu pada pengucapan Tao menjelaskan satu hal.
Sesuatu yang genting sedang terjadi.
“Apa lagi sekarang?” Suho sudah sampai batasnya. Ia
melempar telepon genggam itu kepada pemilikinya dan berkata, “selesaikan ini
dan kembali ke kantor. Aku ada urusan.” Setelah itu ia pergi menuju ke tempat
Tao berada dengan kecepatan tinggi untuk melampiaskan emosinya.
“Detektif Kim!” Suho melambaikan tangan di tengah
kerumunan orang di luar police line.
“Wae?” Suho melewati Police Line dan hampir memarahi
Tao karena berpikir Tao melakukan kesalahan pada investigasi kali ini.
“Lihatlah ini!” Wajah Suho yang tegang mengendur
seketika. Berganti dengan keterkejutan yang menakutkan. Amarah dan
keterkejutannya dapat meledak bersamaan sewaktu-waktu.
Di depan Suho, seorang lelaki dewasa tergeletak
dengan wajah menghadap ke atas. Matanya terbuka lebar dengan kulit sepucat
granit. Di lehernya terdapat goresan benda tajam sepanjang 10 cm dan sedalam
kira-kira 5 cm yang sudah tak mengeluarkan darah. Namun di sekeliling luka itu,
di atas batu-batu di tepi sungai kecil itu, darah yang masih basah menggenang
di bawah kepalanya.
“Kau sudah memeriksanya?” Setelah beberapa saat,
akhirnya suara Suho kembali.
“Ajjik. Kami hanya melihat kesamaan antara foto dan
wajahnya.” Tao menjelaskan dengan rasa takut tergambar pada suaranya.
“Sarung tangan.” Ucap Suho singkat. Setelah memasang
benda itu di tangannya, ia membalik tubuh korban dan menemukan dompet di saku
belakang. Saat membaca identitas korban, Suho terdiam, menunduk dan kemudian
mengusap rambutnya kasar.
“Choi Yeong Kun.”
Continued in Chapter 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar