Sabtu, 29 April 2017

FF Indonesia : EXODUS Chapter 4



EXODUS
Author : Shin Yoon Ah
Lenght : Chapter
Genre : Romance, Action
Cast : Kim Jeon Myon, Irene (RV), Huang Zi Tao



Rona pucat sempat tergambar di wajah es Irene. Namun ekspresi itu tertutupi dengan baik oleh dingin dan kakunya wajah Irene. Hanya saja Suho yang terlalu memperhatikan Irene sempat melihat emosi itu menjalar di wajah Irene.
“Wae? Neo apa? Kau agak pucat.” Bisik Suho.
Belum sempat Irene menjawab, Tao dan beberapa penyidik memasuki ruangan rapat. Mereka membagikan setumpuk berkas kepada beberapa detektif di ruangan itu. Sedangkan Tao mendekati Suho dan membisikkan sesuatu. Saat itu juga Suho berdiri untuk mengikuti Tao dan para penyidik keluar dari ruangan meninggalkan, Irene di dalam ruang rapat bersama para detektif senior.
“Oppa, eoddiga?” Raut panik tergambar sekilas di wajah Irene membuatnya semakin terlihat pucat.
“Sebentar saja.” Suho melepaskan tangan Irene yang memegang erat bahunya dan segera menyusul Tao.
Kehangatan yang tersisa di wajah Irene menguap seketika. Ia tampak seperti penjaga bank dalam film Harry Potter. Ia tak bersuara ketika tak ditanya dan ia hanya menjawab singkat untuk setiap pertanyaan.
“Kenapa mendadak?” Suho setengah berlari mengikuti langkah lebar kaki Tao.
“Kami mendapat laporan dari pergerakan Target B, Hyung.” Target A adalah penyelundupan narkoba. Sedangkan Target B adalah penjualan manusia.
“Jinjja?” Ada secercah sinar menaungi wajah Suho.
“Lihat ini! Seorang mata-mata kita berhasil menangkap gambar yang cukup jelas beserta tempatnya.” Tao memindahkan layar laptop agar Suho dapat leluasa melihat foto-foto yang ada di sana.
“Cari tau siapa orang ini secepatnya. Lacak lokasi mereka. Ingat! Lokasi mereka. Mereka semua.” Setelah beberapa penekanan itu Suho berbalik menuju ruang rapat kembali.
“Hyung, neo eoddiga?” Ucapan Tao menghentikan langkah cepat Suho.
“Menemani Irene. Ia pasti ketakutan.”
“Sebaiknya kau tetap di sini. Salah satu agen sedang menyelidiki orang itu. Aku tak nyaman jika harus keluar masuk ruang rapat hanya untuk menjemputmu. Dan lagi di sana ia dikelilingi detektif senior professional. Ia aman di sana.” Tao menarik kursi untuk Suho.
“Kau benar. Mungkin aku terlalu berlebihan.” Ucap Suho kemudian dan berjalan ke arah Tao.
Waktu berjalan terlalu lambat bagi Suho dan Irene. 20 menit terasa seperti 2 jam. Suho menggoyang-goyangkan kakinya resah. Gerakan kakinya yang sangat mengganggu itu akhirnya berhenti ketika Tao pergi dan kembali membawa beberapa lembar kertas.
“Kita telah menemukannya, Hyung. Kita juga telah mencetak gambar yang didapat. Namanya Choi Yeong Kun. Ada satu tahi lalat besar di dagu kirinya. Usia 32 tahun. Semua sanak saudara telah meninggal. Dia terakhir tercatat tinggal di Busan.” Dekte Tao di depan Suho.
“Kalian bekerja sangat cepat. Kita akan melakukan penangkapan besok. Sampai saat itu, awasi tempat persembunyian mereka. Laporkan seriap pergerakan, jangan ada yang tertinggal. Aku akan kembali ke ruang rapat untuk membahas Target A.” Ucap Suho sebelum ia berlari dan tak sempat dihentikan Tao.
Suho memasuki ruang rapat dengan napas memburu. Ia membuka pintu sedikit terlalu keras hingga semua mata tertuju kepadanya. Ia meminta maaf dengan sopan sambil menutup pintu di belakangnya. Matanya mengelilingi ruangan mencari wanitanya. Suho duduk di kursi yang tadinya diduduki Irene. Masih hangat. Belum lama gadis itu pergi. 5 menit Suho menunggu tetapi Irene tak kunjung kembali. Apakah Irene marah padanya? Karna penasaran ia menggeser kursinya menuju salah seorang detektif terdekat.
“Sunbae, apa kau melihat Nona Irene?” Bisik Suho.
“Wanita yang tadi di sini? Ia keluar setelah mendapat telepon. Ia bilang akan kembali. Tunggu saja!” Detektif itu menjawab dengan sedikit gusar karena ia merasa terganggu dengan Suho.
“Ne. Mianhamnida.” Suho menarik kursinya menjauh.
Tak lama kemudian seorang gadis berambut pirang memasuki ruangan. Garis wajahnya yang dingin segera menghilang digantikan senyum musim panas yang menghangatkan ketika matanya beradu dengan mata Suho.
“Kau menungguku?” Kata Irene duduk di kursi bekas Suho.
“Eoh. Darimana kau?” Suho mencondongkan tubuhnya.
“Aku mendapat telepon dari kakak sepupuku.” Irene menggoyangkan ponselnya pelan sebelum memasukkannya ke tas.
Suho hendak berbicara ketika kemudian salah seorang detektif senior yang berada di ujung meja berdiri dan mengatakan kesimpulan rapat hari ini. Ada beberapa kali ia menyebut nama Irene. Setiap kali namanya disebut, semakin kaku pula wajah Irene. Semua perhatian tertuju pada pemimpin rapat itu hingga tak ada yang menyadari ekspresi Irene, termasuk Suho. Setelah semua hasil dibacakan, si pemimpin rapat yang terlihat letih di usianya yang menginjak 40 tahun itu menutup rapat diiringi hembusan lega dari para peserta rapat, termasuk Suho. Perlahan wajah Irene mengendur di bawah tatapan Suho.
“Oppa, apa kau sudah sarapan?” Irene berkata sambil memungut tasnya di atas meja.
“Ajjik.” Ucap Suho singkat diiringi senyum manisnya.
“Wahh.. kau benar-benar baik pada cacing-cacing di perutmu. Apa kau sedang diet?” Ejek Irene di sebelah Suho yang sedang membereskan berkas-berkasnya di meja.
“Aku tidak ada napsu makan. Aku akan makan jika aku lapar.” Suho tersenyum lebih lebar lagi mendengar decakan Irene.
“Kau harus makan! Aku akan menemanimu. Aku ingin datang ke sebuah restaurant baru di dekat stasiun. Mungkin kau tak napsu makan karena sendirian.” Irene merangkul lengan kiri Suho saat mereka berjalan ke kantor Suho untuk mengambil jas Irene.
“Apa kau bisa makan dengan baju bekas kopi?” Suho melirik ke baju Irene singkat.
“Kita bisa berbelanja setelahnya.” Irene tersenyum sumringah membuat Suho mau tak mau tertawa keras.
“Maafkan aku. Tapi aku benar-benar tak ada waktu. Aku harus menyelidiki kasus lain yang sama pentingnya dengan kasusmu setelah ini bersama Tao.” Suho tersenyum namun matanya penuh penyesalan.
Sepanjang perjalanan menuju kantor Suho tak ada percakapan apapun lagi. Irene kehilangan senyumnya, bahkan ia cenderung menekuk bibirnya ke bawah. Suho membukakan pintu untuk Irene. Setelah memakai jas musim dinginnya, Irene berdiri di depan kaca besar di sudut ruangan. Beberapa saat ia hanya mengamati dirinya sendiri tanpa senyuman. Suho mendekati Irene dan memeluknya. Irene berbalik membalas pelukan Suho.
“Mianhae, lain kali aku akan menemanimu.” Ucap Suho sambil menghirup dalam aroma rambut Irene di bawah dagunya.
“Na jinjja beogosipeo.” Irene mempererat pelukannya. Membiarkan kepalanya bersandar seutuhnya ke dada Suho.
“Mianhae, Irene-ah.” Setelah mencium puncak kepala Irene, Suho melepaskan pelukannya dan memegang bahu Irene. Dipandangnya wajah Irene lekat-lekat dan saat itulah ia melihat sebutir air mata berusaha memberontak keluar dari mata gadisnya.
“Uljima.” Suho mengusap mata Irene.
“Oppa, kau menganggapku seperti apa? Apa aku bagimu?” Mata Irene menusuk tepat ke mata Suho.  Meskipun sedikit mendongak, mata itu tak luput mengenai hati Suho membuatnya merasa bersalah.
“Apa maksudmu?” Suho merendahkan tubuhnya hingga matanya dan mata Irene hampir sejajar.
“Apa aku hanya saksi mata? Apa setelah kasus ini selesai hubungan kita juga selesai? Apakah aku tak bisa lebih penting dari itu?” Air mata baru berhasil membobol benteng pertahanan Irene. Suho segera memeluk Irene.
“Uljima. Uljima. Hubungan kita tidak seperti itu, Irene-ah. Kau bukan hanya saksi mata. Aku malah berharap kasus ini segera selesai agar aku dapat leluasa denganmu. Aku tak ingin kau ada di posisi berbahaya seperti ini.” Perkataan Suho membuat Irene menegang sesaat.
“Jinjja?” Suara Irene bergetar di dada Suho.
“Eoh. Jinjja-ya. Jika aku bisa aku akan menemanimu. Tapi tidak hari ini. Mianhae.” Suho mengecup puncak kepala Irene dan melepas pelukannya ketika hanya isak yang tersisa dari gadis itu.
“Setidaknya antar aku ke lobby, paboya.” Ucap Irene di sela sesenggukan yang mengguncangkan bahunya keras.
“Araseo. Araseo. Usap dulu ingusmu.” Suho mengoper kotak tishu ke arah Irene.
“OPPA!!!” Irene menghentakkan kakinya membuat Suho tertawa keras sambil mengenakan jas hitamnya untuk menghindari hawa dingin.
Irene masih menekuk wajahnya selama berjalan menuju lobby. Hal ini membuat Suho semakin bernapsu mengganggunya. Berkali-kali Irene mencubit gemas pinggang Suho, namun Suho tak pernah berhenti menggodanya. Dari kejauhan di lobby, Irene dapat melihat Tao sedang bercanda dengan Seo Yeon. Saat itulah wajah murung Irene mendapat pencerahan.
“Tao-sshi.” Panggil Irene sambil berlari meninggalkan Suho yang rangkulan tangannya terlepas dari Irene.
“Hya!! Irene!” Suho segera membekap mulutnya ketika ia sadar ia berada di kantor. Untung saja saat itu suasana sedang sangat sepi karena sedang jam makan siang.
“Annyeong, Seo Yeon-ah.” Irene melambai pelan kea rah Seo Yeon.
“Tao-sshi, bisakah Suho-sshi pergi makan siang keluar sebentar?” Irene tersenyum di depan Tao.
“Andwe-yo. Sepertinya Detektif Kim sedang sibuk jadi bahkan ia tak sempat makan siang.” Ucap Tao acuh tak acuh.
“Jika Detektif Kim tak bisa kurasa kau juga tak bisa, Detektif Huang.” Seo Yeon menjawab tajam bahkan sebelum Irene dan Suho yang baru sampai menjawab.
“Ahh.. kalau hanya di kantin kurasa bisa.” Tao sedikit canggung.
“Irene-ah, kau pasti kedinginan dengan kemeja basah itu. Aku akan meminjamimu seragam lamaku. Aku menaruhnya di loker.” Seo Yeon segera menarik tangan Irene menjauh.
“Kenapa lelaki selalu kalah dari wanita?” Suho tertawa di belakang Tao.
“Apa maksudmu kalah? Apa yang Irena lakukan terhadapmu? Dan kenapa dengan baju basah?” Tao menatap Suho dengan tatapan menyelidik.
“Molla.” Ucap Suho singkat.
Setelah merasa member Irene makan yang cukup di kantin dan meyakinkannya untuk pulang seorang diri dengan taksi, Suho kembali ke kantornya menemui setumpuk berkas yang harus ia selesaikan.
“Hah.. hari ini terasa begitu panjang.” Bisik Suho.
Keesokan paginya, setelah memastikan bahwa ia telah berpesan kepada Irene untuk tidak mencarinya, Suho dan banyak polisi lain bergegas menuju tempat persembunyian oknum penjualan manusia. Tao tidak dapat menemaninya karena ia harus mengurus kasus dari Departemen Pembunuhan yang meminta bantuan pada Tim Khusus.
Dengan persiapan yang sangat matang dan dipimpin oleh Suho sendiri, mereka bergerak cepat dan tepat. Namun saat mereka mendobrak masuk gedung tua yang aksesnya terbatas itu, di dalamnya tak ada apapun. Kondisinya sama seperti penggrebekan apartemen tempat persembunyian para penyelundup narkoba dulu, tak bernyawa. Hanya saja kali ini ruangan-ruangan di dalamnya cukup rapi untuk ukuran tempat dimana baru saja terjadi kegiatan “terburu-buru” melarikan diri.
“Geledah semuanya!” Teriak Suho penuh amarah. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Detektif Kim, Detektif Huang ingin berbicara dengan anda.” Salah seorang polisi menyerahkan ponsel kepada Suho.
“Wae?” Suara Suho kentara sekali menahan amarah.
Apa sesuatu tidak berjalan lancar?” Di seberang sana terdengar suara khawatir khas Tao.
“Kita terlambat. Tempat ini kosong.” Suho terengah-engah menahan diri agar tak meledak saat itu juga, nyaris di depan Tao.
Aku tau ini bukan saat yang tepat. Tapi Detektif Kim, sepertinya kau harus ke sini. Sekarang juga.” Penekatan waktu pada pengucapan Tao menjelaskan satu hal. Sesuatu yang genting sedang terjadi.
“Apa lagi sekarang?” Suho sudah sampai batasnya. Ia melempar telepon genggam itu kepada pemilikinya dan berkata, “selesaikan ini dan kembali ke kantor. Aku ada urusan.” Setelah itu ia pergi menuju ke tempat Tao berada dengan kecepatan tinggi untuk melampiaskan emosinya.
“Detektif Kim!” Suho melambaikan tangan di tengah kerumunan orang di luar police line.
“Wae?” Suho melewati Police Line dan hampir memarahi Tao karena berpikir Tao melakukan kesalahan pada investigasi kali ini.
“Lihatlah ini!” Wajah Suho yang tegang mengendur seketika. Berganti dengan keterkejutan yang menakutkan. Amarah dan keterkejutannya dapat meledak bersamaan sewaktu-waktu.
Di depan Suho, seorang lelaki dewasa tergeletak dengan wajah menghadap ke atas. Matanya terbuka lebar dengan kulit sepucat granit. Di lehernya terdapat goresan benda tajam sepanjang 10 cm dan sedalam kira-kira 5 cm yang sudah tak mengeluarkan darah. Namun di sekeliling luka itu, di atas batu-batu di tepi sungai kecil itu, darah yang masih basah menggenang di bawah kepalanya.
“Kau sudah memeriksanya?” Setelah beberapa saat, akhirnya suara Suho kembali.
“Ajjik. Kami hanya melihat kesamaan antara foto dan wajahnya.” Tao menjelaskan dengan rasa takut tergambar pada suaranya.
“Sarung tangan.” Ucap Suho singkat. Setelah memasang benda itu di tangannya, ia membalik tubuh korban dan menemukan dompet di saku belakang. Saat membaca identitas korban, Suho terdiam, menunduk dan kemudian mengusap rambutnya kasar.
“Choi Yeong Kun.”

Continued in Chapter 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar