Nothing Better
Author : Shin Yoon Ah
Cover : Shin Yoon Ah
Lenght : Chapter
Genre : Romance
“Kenapa ekspresi wajah
kalian seperti itu? Aku hanya ingin memasak ikan. Tapi koki ini datang dan
menggangguku.” Ucap lelaki itu sambil tersenyum dan menaruh pisaunya di sebelah
nampan daging dengan ikan yang telah berdarah-darah di atasnya.
“Jhony?”Suara berbisik
Riyan menarik perhatian lelaki dingin itu.
“Siapa kau? Apa kau
lelaki yang datang dengan mobil tadi?” Senyum di wajah Jhony menghilang.
“Aku Riyan.” Ucap Riyan
nyaris terbata.
“Jadi kau yang sering
disebut Papa dan Mama sebagai calon adik iparku?” Senyum sinis yang mengerikan
muncul di wajah Jhony.
Suasana semakin
mencekam. Semua orang menahan napas kecuali Jhony. Senyum sinisnya semakin
melebar seolah bibirnya bisa robek dengan sendirinya ketika ia tersenyum
seperti itu. Tak ingin Jhony merasa semakin menang, Riyan berusaha mengumpulkan
semua keberaniannya dan berusaha bersuara.
“Kau tak seharusnya
melakukan itu, Jhony.” Akhirnya suara keluar dari bibir Riyan dan sempat
mengejutkan Jhony.
“Apa maksudmu? Aku kan
hanya ingin memasak.” Jhony perlahan berjalan memutar mendekati Riyan.
“Kau sudah membayar
mahal untuk seorang juru masak. Seharusnya kau membiarkan dia memasak untukmu.
Kau tak perlu memasak untuk dirimu sendiri.” Ucap Riyan ketika Jhony hanya
berjarak satu langkah pendek darinya. Semua orang di sekitanya berdiri dengan
sikap siaga.
“Kau benar juga. Percuma
saja Papa membayarnya jika aku harus memasak sendiri. Kau pintar sekali,
Andriyan Ananta.” Jhony menekankan nama lengkap Riyan yang belum pernah Riyan
ucapkan sama sekali di depannya.
“Sebaiknya kau mengganti
bajumu.” Ucap Riyan akhirnya setelah tak bisa berkata-kata. Jhony sangat tau
baik tentang dirinya pada pertemuan pertama.
“Sepertinya kau cukup
bagus untuk menjadi sainganku, Adik Ipar.” Jhony berbisik di telinga Riyan
ketika hendak berjalan meninggalkan dapur menuju kamarnya.
Segera setelah Jhony
pergi, Riyan dan beberapa petugas lain mendekati juru masak yang kehilangan
darah di seluruh wajahnya itu. Beberapa orang juga membereskan kelakuan Jhony
di meja dapur. Darah juga berceceran di lantai. Sepertinya ikan itu tadinya
masih segar bahkan masih hidup. Hal itulah yang membuat juru masak terkejut.
AKKKKHHHH!!!! Terdengar
teriakan dari lantai 2 bersamaan dengan suara benda pecah. Riyan segera berlari
karena ia baru saja menyadari bahwa ia sudah meninggalkan hal yang paling
penting bagi mereka semua yang ada di rumah itu. Riyan hanya mampu berdiri di
pintu kamar Johanna sambil menyaksikan kekasihnya bersandar di dinding dengan
dagu yang dicengkeram dengan keras oleh kembarannya. Dari ekspresinya, Riyan
tau Johanna sangat kesakitan dengan perlakuan saudaranya itu. Kuku Jhony yang
tajam menempel pada rahang mulus Johanna. Riyan tak ingin pergerakannya yang
salah akan menyebabkan luka permanen pada wajah Johanna. Johanna sangat benci
wajahnya tergores.
“Jhony, apa yang kau
lakukan?” Suara Riyan terdengar gemetar. Perlahan dan sangat hati-hati ia
melangkah masuk.
“Diam di sana!” Suara
Jhony terdengar dalam dan menakutkan. Johanna yang berada di depannya bergidik
ketakutan.
“Selamat pagi sayang.
Kau lihat lelakimu bahkan tak berkutik di depanku.”Jhony mengangkat dagu
Johanna lebih tinggi membuat gadis itu meringis kesakitan.
“Apa yang kau lakukan?!
Lepaskan Johanna!” Riyan memberanikan diri untuk mendekat.
“Diam di sana atau kau
akan melihat darah dari dagu Johanna?!” Bentak Jhony membuat Riyan kembali
terdiam. Tak lama setelah itu, beberapa penjaga terdengar menaiki tangga.
“Kurasa situasi kita
sedikit tidak menguntungkan. Aku hanya akan mengingatkanmu sekali lagi. Setelah
melihatku, Riyan akan mulai menjauhimu. Semua orang takut padaku sehingga tak
akan ada yang mau bersanding denganmu.” Bisik Jhony dengan cepat dan sangat
pelan tepat di telinga Johanna.
“Dia bukan lelaki
bangsat sepertimu.” Dengan mata berapi-api bercampur rasa takut, Johanna
memberanikan diri menjawab Jhony.
“Oh ya? Pikirkan
baik-baik siapa yang membuatmu berada di posisi ini, Sayang.” Ucap Jhony
sebelum meninggalkan Johanna yang terduduk di lantai dengan sisa-sisa tenaga dan
rasa takutnya.
“Apa kau baik-baik
saja?” Tanya Riyan segera sambil memeluk erat tubuh Johanna. Perlahan dan
sangat samar Johanna mengangguk.
“Kau sudah mengemasi
barangmu?” Tanya Riyan sambil memandang sekeliling.
Johanna kembali
mengangguk lemah. Tangannya yang dingin menunjuk tas pakaian yang masih
setengah terbuka di atas ranjang. Riyan mengikuti arah jari Johanna dan segera
berdiri untuk merapikan barang-barang pribadi kekasihnya itu. Dengan
terburu-buru ia segera menarik Johanna untuk pergi. Johanna sempat melihat
gurat ketakutan di wajah Riyan. Saat itu juga pikirannya kembali mengingat
perkataan Jhony tentang hubungannya dengan Riyan yang akan segera mengendur
karena Riyan tak ingin bersaudara ipar dengan seorang psikopat. Secepat apa
pikiran itu datang, secepat itu pula Johanna berusaha mengenyahkannya.
Dua hari sudah Johanna
menginap di rumah Riyan tetap dengan perasaan waswas dan khawatir. Ia waswas
Jhony akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap Riyan atau keluarganya. Ia
juga khawatir dengan kedua orang tuanya yang saat ini tidak bisa dihubungi.
Rumah Sakit Jiwa tempat Jhony dirawat mengatakan bahwa Jhony mendapat izin
keluar bersama kedua orang tuanya, namun sampai saat ini dua orang tercinta
Johanna itu belum sampai di Indonesia.
Johanna duduk di
kamarnya sambil memandangi layar komputer Riyan. Dua hari ini Johanna memiliki
banyak waktu luang sedangkan Riyan jarang di rumah. Tuan dan Nyonya Febrian
melarang Johanna untuk pergi keluar sendiri tanpa Riyan. Rumah keluarga Febrian
memang mewah namun tidak memiliki halaman depan dan belakang seperti milik
Johanna. Sehingga gadis yang mudah bosan itu hanya bisa duduk di kamarnya jika
menginginkan kesunyian seperti yang selalu ia sukai.
Keluarga kecil itu
berkumpul hanya saat makan malam. Tuan Febrian duduk di kursi utama, Nyonya
Febrian di sebelah kiri suaminya dan di hadapan putranya. Sedangkan Johanna
menikmati berada di kursi sebelah Riyan. Suasana di meja oval itu sama sekali tak
canggung. Johanna sudah menjadi bagian dari keluarga itu sejak ia mulai
menjalin hubungan dengan Riyan. Namun, keesokan paginya entah mengapa suasana
antara Tuan dan Nyonya Febrian menjadi sedikit agak canggung dan Johanna tidak
berani menanyakan alasannya.
“Jo, sepertinya kami
tidak bisa menemanimu di rumah.” Ucap
Tuan Febrian ragu-ragu.
“Kenapa, Ayah?” Tanya
Johanna menghentikan sendok yang menuju ke mulutnya.
“Ayah harus pergi ke
luar kota dan Bunda harus menemui sahabatnya di luar kota juga.” Riyan
menjelaskan sambil terus memasukkan sendok ke mulutnya.
“Apa aku harus pulang?”
Tanya Johanna. Rasa khawatir mulai merayapi hatinya.
“Tidak... Kau bisa
tinggal di sini. Hanya saja kau tak akan memiliki teman di sini. Apa kau
baik-baik saja?” Nyonya Febrian menjawab dengan pasti dan mendapat anggukan
mantap dari Johanna.
“Tidak bisa begitu!”
Tiba-tiba saja Riyan angkat bicara dan menghentikan sarapannya.
“Seperinya kau tak suka
aku di sini.” Johanna segera meninggalkan meja makan dan menuju ke kamar tamu
yang sudah disulap menjadi kamarnya.
“Bunda, dia tak bisa
tinggal di sini seperti ini. Meskipun rumah ini bukan rumah Johanna, tapi Jhony
tau tempat ini. Bisa saja Jhony melakukan sesuatu yang buruk kepada Johanna
jika tak ada orang di rumah. Aku tak bisa terus berada di rumah. Aku sedang
mengerjakan skripsi. Apa Bunda lupa?” Riyan berusaha menjelaskan keadaan kepada
kedua orang tuanya.
“Bunda tau. Tapi apa kau
tega membiarkan Johanna tinggal satu rumah dengan psikopat gila itu?” Tanya
Nyonya Febrian dengan suara yang teratur agar Johanna tak bisa mendengar.
“Di rumah itu memiliki
banyak CCTV dan penjaga. Setidaknya ia lebih aman di sana. Beberapa hari ini
Riyan juga merasa Johanna bosan terkurung di dalam kamar terus menerus. Di
rumahnya, ia memiliki halaman yang luas dengan penjagaan yang baik. Apalagi
yang kurang?” Riyan masih berusaha menjelaskan tanpa mengeluarkan emosi dan
kekhawatirannya yang saat ini meluap.
“Aku tak bisa membiarkan
anakku tinggal dengan orang seperti itu.” Nyonya Febrian bersikeras
mempertahankan Johanna di rumahnya.
“Jika Bunda memang
menganggap Johanna seperti itu, berarti Bunda juga harus menerima keberadaan
Jhony sebagai kakakku.” Ucap Riyan sebagai penutup sebelum meninggalkan meja
makan dan menyusul Johanna.
“Riyan benar. Johanna
akan lebih nyaman di rumahnya sendiri. Ia memiliki hiburan dan keamanan yang
cukup. Kau tak perlu khawatir.” Tuan Febrian menenangkan istrinya dan mencium
kening wanita yang sudah cukup berumur itu.
Tok... Tok... Tok...
Riyan mengetuk pintu kamar tamu dengan sopan dan perlahan namun tak ada jawaban
dari dalam. Ia sangat yakin Johanna sedang berada di kamar itu, namun ia enggan
membuka pintu untuk Riyan. Dengan sabar Riyan menunggu sambil mengetuk lagi dan
lagi. Sampai beberapa saat kemudian pintu kayu itu terbuka.
“Kemana kau akan pergi?”
Tanya Riyan sesaat setelah ia melihat Johanna membawa tas berisi pakaiannya.
“Kau baru saja
mengusirku.” Jawab Johanna dingin.
“Kau HARUS pulang.” Riyan
menyentuh kedua bahu Johanna dengan ekspresi meminta maaf.
“Itu urusanku.” Johanna
menepis tangan Riyan dan melewatinya.
“Kumohon. Ini yang
terbaik untukmu, Jo.” Riyan menahan Johanna dan berusaha meyakinkannya.
“Aku bisa pulang
sendiri.” Johanna menyerah.
“No. Aku akan memastikan
kau sampai di rumah dengan selamat.” Ucap Riyan dan segera menuruni tangga
menuju mobilnya mendahului Johanna.
Setelah berpamitan
dengan baik, Johanna segera memasuki Fortuner hitam milik Riyan yang telah
ditenggeri oleh pemiliknya itu. Perjalanan mereka penuh kebisuan. Hingga suara
Johanna terdengar pelan dan parau memecah suasana.
“Sepertinya akhir-akhir
ini kau sibuk. Kita jarang berkomunikasi.”
“Yah... seperti itulah.”
Jawab Riyan singkat.
"Sepertinya
hubungan kita harus diakhiri.” Ucap Johanna ringan dan semakin parau.
“APA??!!!” Riyan
menginjak remnya terlalu keras hingga Johanna tersentak maju.
“Akh!! Teriak Johanna
sambil memegang bahunya yang terbalut sabuk pengaman.
“Ah.... Maafkan aku. Apa
kau baik-baik saja?” Riyan segera melepas sabuk pengaman dari Johanna dan
membuka sedikit baju Johanna. Ada luka lebam di balik kain tipis itu. Rasa
bersalah mulai menggelayuti Riyan.
“Aku baik-baik saja.”
Johanna menepis tangan Riyan dan memakai sabuk pengamannya lagi.
“Apa aku melakukan suatu
kesalahan?” Riyan masih belum menjalankan mobilnya.
“Aku mengantuk.” Johanna
segera menggunakan earphone dari tasnya dan memejamkan mata. Riyan sendiri tidak
tega untuk mengganggunya. Ia hanya diam dan pasrah dengan keputusan Johanna.
Sesampainya di rumah,
Johanna hanya mengucapkan terimakasih kepada Riyan dengan sangat sopan dan
formal kemudian masuk dan berkata bahwa ia ingin sendirian. Riyan yang tak
ingin menyulut kemarahan Johanna hanya menurut dan berpesan kepada salah
seorang penjaga untuk menjaga Johanna. Setelah itu Riyan pergi tanpa mengejar
Johanna, padahal sebenarnya Johanna menunggu di balik pintu kamarnya.
Tok... tok... tok...
pintu kamar Johanna diketuk dengan lembut dan terdengar agak ragu. Segera
Johanna membukanya karena refleks. Namun ia segera menutupnya kembali ketika
tau siapa yang ada di balik pintu. Terlambat, sebuah kaki telah terlebih dulu
terselip di antara pintu.
“Apa kau menunggu
Andriyan?” Suara dingin itu membuat Johanna merinding, ia mundur
perlahan-lahan.
“Apakah dia terbiasa
mengetuk pintu seperti itu? Jangan terkejut seperti itu. Apakah aku terlalu
cepat belajar?” Jhony semakin mendekati Johanna.
“Menjauh dariku!”
Johanna berusaha tetap menjauh.
“Apa dia sudah menyerah
terhadapmu?” Pertanyaan Jhony membuat rahang Johanna mengeras. Matanya memerah
dan berair.
“Pergi kau,
menjijikkan!!!” Teriak Johanna sekeras mungkin dan segera mendorong Jhony
keluar dengan sekuat tenaga. Jhony yang terkejut terdorong hingga keluar dan
terkunci di luar.
“Perang dimulai.” Bisik
Jhony dengan suara licik.
Johanna menangis
sebanyak mungkin di kamarnya yang terkunci. Sebagian besar dari hatinya mulai
membenarkan perkataan Jhony tentang Riyan. Namun ia masih saja mencari celah
dari perkataan kembarannya itu. Ia sudah mengenal Riyan sejak SMA dan Riyan
selalu menerimanya apa adanya. Bahkan dari luar terlihat bahwa hanya Riyan yang
mencintai tanpa dicintai. Kurangnya perhatian dari orang tuanya membuatnya tak
tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa sayang dan Riyan paham akan hal itu.
Johanna masih bertahan
bersama Riyan setelah bertahun-tahun karena ia tahu bahwa Riyan mengetahui 90%
tentang dia dan sifatnya. Namun setelah kedatangan Jhony, semuanya seolah
terpatahkan. Perkataan Jhony waktu itu selalu terngiang di telinga Johanna
bahkan membekas di otaknya. Tingkah laku Riyan selama beberapa hari ini semakin
memperkuat fakta bahwa ia akan meninggalkan Johanna setelah bertemu Jhony 4 hari
yang lalu.
Selama dua hari terakhir
Riyan tak mengirim pesan sama sekali ke Johanna. Sebenarnya ia mengirim pesan,
tapi hanya sekali. Dan itu tidak cukup untuk Johanna. Biasanya ketika Johanna
sedang marah, Riyan akan mengiriminya pesan setidaknya 20 menit sekali. Namun
sekarang saat ia baru saja mengucap kata putus, Riyan sangat jarang
mengiriminya pesan. Padahal dalam ekspektasi Johanna, Riyan akan selalu
meneleponnya setidaknya satu jam sekali, namun itu hanya ekspektasi.
Keesokan harinya,
Johanna bangun dengan mata sembab yang menghitam dan rambut berantakan yang
selama dua hari tak ia sisir. Bahkan ia lupa kapan terakhir ia mandi dan makan.
Keluar dari kamar itu artinya harus berhadapan dengan beruang lapar, Jhony.
Namun hari ini ia harus keluar kamar untuk kuliah.
Johanna menyisir
rambutnya sebisa mungkin setelah keramas. Ia mengikat rambutnya ke atas untuk
menyembunyikan sisa-sisa kekusutan yang tidak tertolong. Dengan mood yang
berantakan seperti matanya, Johanna memoles make up semaunya. Ia turun ke dapur
dan mengambil roti di meja. Ia terlihat seperti zombie yang sudah tidak
memiliki jiwa. Ia bahkan hanya mengabaikan Jhony yang melewatinya dengan senyum
genit. Jhony yang merasa diabaikan segera mengikuti Johanna keluar rumah.
“Akhirnya kau keluar
dari markasmu, sayang.” Rayu Jhony sambil merengkuh bahu Johanna.
“Kau mau aku
mengantarmu? Kudengar sopirmu sedang tak bisa menyetir sejak aku bermain
dengannya.” Jhony berkata lagi setelah menyadari tak ada jawaban dari Johanna.
Continued in Chapter 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar