Sabtu, 23 Desember 2017

Cerpen Indonesia : Nothing Better Chapter 2



Nothing Better

Author : Shin Yoon Ah
Cover : Shin Yoon Ah
Lenght : Chapter
Genre : Romance


“Kenapa ekspresi wajah kalian seperti itu? Aku hanya ingin memasak ikan. Tapi koki ini datang dan menggangguku.” Ucap lelaki itu sambil tersenyum dan menaruh pisaunya di sebelah nampan daging dengan ikan yang telah berdarah-darah di atasnya.
“Jhony?”Suara berbisik Riyan menarik perhatian lelaki dingin itu.
“Siapa kau? Apa kau lelaki yang datang dengan mobil tadi?” Senyum di wajah Jhony menghilang.
“Aku Riyan.” Ucap Riyan nyaris terbata.
“Jadi kau yang sering disebut Papa dan Mama sebagai calon adik iparku?” Senyum sinis yang mengerikan muncul di wajah Jhony.
Suasana semakin mencekam. Semua orang menahan napas kecuali Jhony. Senyum sinisnya semakin melebar seolah bibirnya bisa robek dengan sendirinya ketika ia tersenyum seperti itu. Tak ingin Jhony merasa semakin menang, Riyan berusaha mengumpulkan semua keberaniannya dan berusaha bersuara.
“Kau tak seharusnya melakukan itu, Jhony.” Akhirnya suara keluar dari bibir Riyan dan sempat mengejutkan Jhony.
“Apa maksudmu? Aku kan hanya ingin memasak.” Jhony perlahan berjalan memutar mendekati Riyan.
“Kau sudah membayar mahal untuk seorang juru masak. Seharusnya kau membiarkan dia memasak untukmu. Kau tak perlu memasak untuk dirimu sendiri.” Ucap Riyan ketika Jhony hanya berjarak satu langkah pendek darinya. Semua orang di sekitanya berdiri dengan sikap siaga.
“Kau benar juga. Percuma saja Papa membayarnya jika aku harus memasak sendiri. Kau pintar sekali, Andriyan Ananta.” Jhony menekankan nama lengkap Riyan yang belum pernah Riyan ucapkan sama sekali di depannya.
“Sebaiknya kau mengganti bajumu.” Ucap Riyan akhirnya setelah tak bisa berkata-kata. Jhony sangat tau baik tentang dirinya pada pertemuan pertama.
“Sepertinya kau cukup bagus untuk menjadi sainganku, Adik Ipar.” Jhony berbisik di telinga Riyan ketika hendak berjalan meninggalkan dapur menuju kamarnya.
Segera setelah Jhony pergi, Riyan dan beberapa petugas lain mendekati juru masak yang kehilangan darah di seluruh wajahnya itu. Beberapa orang juga membereskan kelakuan Jhony di meja dapur. Darah juga berceceran di lantai. Sepertinya ikan itu tadinya masih segar bahkan masih hidup. Hal itulah yang membuat juru masak terkejut.
AKKKKHHHH!!!! Terdengar teriakan dari lantai 2 bersamaan dengan suara benda pecah. Riyan segera berlari karena ia baru saja menyadari bahwa ia sudah meninggalkan hal yang paling penting bagi mereka semua yang ada di rumah itu. Riyan hanya mampu berdiri di pintu kamar Johanna sambil menyaksikan kekasihnya bersandar di dinding dengan dagu yang dicengkeram dengan keras oleh kembarannya. Dari ekspresinya, Riyan tau Johanna sangat kesakitan dengan perlakuan saudaranya itu. Kuku Jhony yang tajam menempel pada rahang mulus Johanna. Riyan tak ingin pergerakannya yang salah akan menyebabkan luka permanen pada wajah Johanna. Johanna sangat benci wajahnya tergores.
“Jhony, apa yang kau lakukan?” Suara Riyan terdengar gemetar. Perlahan dan sangat hati-hati ia melangkah masuk.
“Diam di sana!” Suara Jhony terdengar dalam dan menakutkan. Johanna yang berada di depannya bergidik ketakutan.
“Selamat pagi sayang. Kau lihat lelakimu bahkan tak berkutik di depanku.”Jhony mengangkat dagu Johanna lebih tinggi membuat gadis itu meringis kesakitan.
“Apa yang kau lakukan?! Lepaskan Johanna!” Riyan memberanikan diri untuk mendekat.
“Diam di sana atau kau akan melihat darah dari dagu Johanna?!” Bentak Jhony membuat Riyan kembali terdiam. Tak lama setelah itu, beberapa penjaga terdengar menaiki tangga.
“Kurasa situasi kita sedikit tidak menguntungkan. Aku hanya akan mengingatkanmu sekali lagi. Setelah melihatku, Riyan akan mulai menjauhimu. Semua orang takut padaku sehingga tak akan ada yang mau bersanding denganmu.” Bisik Jhony dengan cepat dan sangat pelan tepat di telinga Johanna.
“Dia bukan lelaki bangsat sepertimu.” Dengan mata berapi-api bercampur rasa takut, Johanna memberanikan diri menjawab Jhony.
“Oh ya? Pikirkan baik-baik siapa yang membuatmu berada di posisi ini, Sayang.” Ucap Jhony sebelum meninggalkan Johanna yang terduduk di lantai dengan sisa-sisa tenaga dan rasa takutnya.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Riyan segera sambil memeluk erat tubuh Johanna. Perlahan dan sangat samar Johanna mengangguk.
“Kau sudah mengemasi barangmu?” Tanya Riyan sambil memandang sekeliling.
Johanna kembali mengangguk lemah. Tangannya yang dingin menunjuk tas pakaian yang masih setengah terbuka di atas ranjang. Riyan mengikuti arah jari Johanna dan segera berdiri untuk merapikan barang-barang pribadi kekasihnya itu. Dengan terburu-buru ia segera menarik Johanna untuk pergi. Johanna sempat melihat gurat ketakutan di wajah Riyan. Saat itu juga pikirannya kembali mengingat perkataan Jhony tentang hubungannya dengan Riyan yang akan segera mengendur karena Riyan tak ingin bersaudara ipar dengan seorang psikopat. Secepat apa pikiran itu datang, secepat itu pula Johanna berusaha mengenyahkannya.
Dua hari sudah Johanna menginap di rumah Riyan tetap dengan perasaan waswas dan khawatir. Ia waswas Jhony akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap Riyan atau keluarganya. Ia juga khawatir dengan kedua orang tuanya yang saat ini tidak bisa dihubungi. Rumah Sakit Jiwa tempat Jhony dirawat mengatakan bahwa Jhony mendapat izin keluar bersama kedua orang tuanya, namun sampai saat ini dua orang tercinta Johanna itu belum sampai di Indonesia.
Johanna duduk di kamarnya sambil memandangi layar komputer Riyan. Dua hari ini Johanna memiliki banyak waktu luang sedangkan Riyan jarang di rumah. Tuan dan Nyonya Febrian melarang Johanna untuk pergi keluar sendiri tanpa Riyan. Rumah keluarga Febrian memang mewah namun tidak memiliki halaman depan dan belakang seperti milik Johanna. Sehingga gadis yang mudah bosan itu hanya bisa duduk di kamarnya jika menginginkan kesunyian seperti yang selalu ia sukai.
Keluarga kecil itu berkumpul hanya saat makan malam. Tuan Febrian duduk di kursi utama, Nyonya Febrian di sebelah kiri suaminya dan di hadapan putranya. Sedangkan Johanna menikmati berada di kursi sebelah Riyan.  Suasana di meja oval itu sama sekali tak canggung. Johanna sudah menjadi bagian dari keluarga itu sejak ia mulai menjalin hubungan dengan Riyan. Namun, keesokan paginya entah mengapa suasana antara Tuan dan Nyonya Febrian menjadi sedikit agak canggung dan Johanna tidak berani menanyakan alasannya.
“Jo, sepertinya kami tidak bisa menemanimu di rumah.”  Ucap Tuan Febrian ragu-ragu.
“Kenapa, Ayah?” Tanya Johanna menghentikan sendok yang menuju ke mulutnya.
“Ayah harus pergi ke luar kota dan Bunda harus menemui sahabatnya di luar kota juga.” Riyan menjelaskan sambil terus memasukkan sendok ke mulutnya.
“Apa aku harus pulang?” Tanya Johanna. Rasa khawatir mulai merayapi hatinya.
“Tidak... Kau bisa tinggal di sini. Hanya saja kau tak akan memiliki teman di sini. Apa kau baik-baik saja?” Nyonya Febrian menjawab dengan pasti dan mendapat anggukan mantap dari Johanna.
“Tidak bisa begitu!” Tiba-tiba saja Riyan angkat bicara dan menghentikan sarapannya.
“Seperinya kau tak suka aku di sini.” Johanna segera meninggalkan meja makan dan menuju ke kamar tamu yang sudah disulap menjadi kamarnya.
“Bunda, dia tak bisa tinggal di sini seperti ini. Meskipun rumah ini bukan rumah Johanna, tapi Jhony tau tempat ini. Bisa saja Jhony melakukan sesuatu yang buruk kepada Johanna jika tak ada orang di rumah. Aku tak bisa terus berada di rumah. Aku sedang mengerjakan skripsi. Apa Bunda lupa?” Riyan berusaha menjelaskan keadaan kepada kedua orang tuanya.
“Bunda tau. Tapi apa kau tega membiarkan Johanna tinggal satu rumah dengan psikopat gila itu?” Tanya Nyonya Febrian dengan suara yang teratur agar Johanna tak bisa mendengar.
“Di rumah itu memiliki banyak CCTV dan penjaga. Setidaknya ia lebih aman di sana. Beberapa hari ini Riyan juga merasa Johanna bosan terkurung di dalam kamar terus menerus. Di rumahnya, ia memiliki halaman yang luas dengan penjagaan yang baik. Apalagi yang kurang?” Riyan masih berusaha menjelaskan tanpa mengeluarkan emosi dan kekhawatirannya yang saat ini meluap.
“Aku tak bisa membiarkan anakku tinggal dengan orang seperti itu.” Nyonya Febrian bersikeras mempertahankan Johanna di rumahnya.
“Jika Bunda memang menganggap Johanna seperti itu, berarti Bunda juga harus menerima keberadaan Jhony sebagai kakakku.” Ucap Riyan sebagai penutup sebelum meninggalkan meja makan dan menyusul Johanna.
“Riyan benar. Johanna akan lebih nyaman di rumahnya sendiri. Ia memiliki hiburan dan keamanan yang cukup. Kau tak perlu khawatir.” Tuan Febrian menenangkan istrinya dan mencium kening wanita yang sudah cukup berumur itu.
Tok... Tok... Tok... Riyan mengetuk pintu kamar tamu dengan sopan dan perlahan namun tak ada jawaban dari dalam. Ia sangat yakin Johanna sedang berada di kamar itu, namun ia enggan membuka pintu untuk Riyan. Dengan sabar Riyan menunggu sambil mengetuk lagi dan lagi. Sampai beberapa saat kemudian pintu kayu itu terbuka.
“Kemana kau akan pergi?” Tanya Riyan sesaat setelah ia melihat Johanna membawa tas berisi pakaiannya.
“Kau baru saja mengusirku.” Jawab Johanna dingin.
“Kau HARUS pulang.” Riyan menyentuh kedua bahu Johanna dengan ekspresi meminta maaf.
“Itu urusanku.” Johanna menepis tangan Riyan dan melewatinya.
“Kumohon. Ini yang terbaik untukmu, Jo.” Riyan menahan Johanna dan berusaha meyakinkannya.
“Aku bisa pulang sendiri.” Johanna menyerah.
“No. Aku akan memastikan kau sampai di rumah dengan selamat.” Ucap Riyan dan segera menuruni tangga menuju mobilnya mendahului Johanna.
Setelah berpamitan dengan baik, Johanna segera memasuki Fortuner hitam milik Riyan yang telah ditenggeri oleh pemiliknya itu. Perjalanan mereka penuh kebisuan. Hingga suara Johanna terdengar pelan dan parau memecah suasana.
“Sepertinya akhir-akhir ini kau sibuk. Kita jarang berkomunikasi.”
“Yah... seperti itulah.” Jawab Riyan singkat.
"Sepertinya hubungan kita harus diakhiri.” Ucap Johanna ringan dan semakin parau.
“APA??!!!” Riyan menginjak remnya terlalu keras hingga Johanna tersentak maju.
“Akh!! Teriak Johanna sambil memegang bahunya yang terbalut sabuk pengaman.
“Ah.... Maafkan aku. Apa kau baik-baik saja?” Riyan segera melepas sabuk pengaman dari Johanna dan membuka sedikit baju Johanna. Ada luka lebam di balik kain tipis itu. Rasa bersalah mulai menggelayuti Riyan.
“Aku baik-baik saja.” Johanna menepis tangan Riyan dan memakai sabuk pengamannya lagi.
“Apa aku melakukan suatu kesalahan?” Riyan masih belum menjalankan mobilnya.
“Aku mengantuk.” Johanna segera menggunakan earphone dari tasnya dan memejamkan mata. Riyan sendiri tidak tega untuk mengganggunya. Ia hanya diam dan pasrah dengan keputusan Johanna.
Sesampainya di rumah, Johanna hanya mengucapkan terimakasih kepada Riyan dengan sangat sopan dan formal kemudian masuk dan berkata bahwa ia ingin sendirian. Riyan yang tak ingin menyulut kemarahan Johanna hanya menurut dan berpesan kepada salah seorang penjaga untuk menjaga Johanna. Setelah itu Riyan pergi tanpa mengejar Johanna, padahal sebenarnya Johanna menunggu di balik pintu kamarnya.
Tok... tok... tok... pintu kamar Johanna diketuk dengan lembut dan terdengar agak ragu. Segera Johanna membukanya karena refleks. Namun ia segera menutupnya kembali ketika tau siapa yang ada di balik pintu. Terlambat, sebuah kaki telah terlebih dulu terselip di antara pintu.
“Apa kau menunggu Andriyan?” Suara dingin itu membuat Johanna merinding, ia mundur perlahan-lahan.
“Apakah dia terbiasa mengetuk pintu seperti itu? Jangan terkejut seperti itu. Apakah aku terlalu cepat belajar?” Jhony semakin mendekati Johanna.
“Menjauh dariku!” Johanna berusaha tetap menjauh.
“Apa dia sudah menyerah terhadapmu?” Pertanyaan Jhony membuat rahang Johanna mengeras. Matanya memerah dan berair.
“Pergi kau, menjijikkan!!!” Teriak Johanna sekeras mungkin dan segera mendorong Jhony keluar dengan sekuat tenaga. Jhony yang terkejut terdorong hingga keluar dan terkunci di luar.
“Perang dimulai.” Bisik Jhony dengan suara licik.
Johanna menangis sebanyak mungkin di kamarnya yang terkunci. Sebagian besar dari hatinya mulai membenarkan perkataan Jhony tentang Riyan. Namun ia masih saja mencari celah dari perkataan kembarannya itu. Ia sudah mengenal Riyan sejak SMA dan Riyan selalu menerimanya apa adanya. Bahkan dari luar terlihat bahwa hanya Riyan yang mencintai tanpa dicintai. Kurangnya perhatian dari orang tuanya membuatnya tak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa sayang dan Riyan paham akan hal itu.
Johanna masih bertahan bersama Riyan setelah bertahun-tahun karena ia tahu bahwa Riyan mengetahui 90% tentang dia dan sifatnya. Namun setelah kedatangan Jhony, semuanya seolah terpatahkan. Perkataan Jhony waktu itu selalu terngiang di telinga Johanna bahkan membekas di otaknya. Tingkah laku Riyan selama beberapa hari ini semakin memperkuat fakta bahwa ia akan meninggalkan Johanna setelah bertemu Jhony 4 hari yang lalu.
Selama dua hari terakhir Riyan tak mengirim pesan sama sekali ke Johanna. Sebenarnya ia mengirim pesan, tapi hanya sekali. Dan itu tidak cukup untuk Johanna. Biasanya ketika Johanna sedang marah, Riyan akan mengiriminya pesan setidaknya 20 menit sekali. Namun sekarang saat ia baru saja mengucap kata putus, Riyan sangat jarang mengiriminya pesan. Padahal dalam ekspektasi Johanna, Riyan akan selalu meneleponnya setidaknya satu jam sekali, namun itu hanya ekspektasi.
Keesokan harinya, Johanna bangun dengan mata sembab yang menghitam dan rambut berantakan yang selama dua hari tak ia sisir. Bahkan ia lupa kapan terakhir ia mandi dan makan. Keluar dari kamar itu artinya harus berhadapan dengan beruang lapar, Jhony. Namun hari ini ia harus keluar kamar untuk kuliah.
Johanna menyisir rambutnya sebisa mungkin setelah keramas. Ia mengikat rambutnya ke atas untuk menyembunyikan sisa-sisa kekusutan yang tidak tertolong. Dengan mood yang berantakan seperti matanya, Johanna memoles make up semaunya. Ia turun ke dapur dan mengambil roti di meja. Ia terlihat seperti zombie yang sudah tidak memiliki jiwa. Ia bahkan hanya mengabaikan Jhony yang melewatinya dengan senyum genit. Jhony yang merasa diabaikan segera mengikuti Johanna keluar rumah.
“Akhirnya kau keluar dari markasmu, sayang.” Rayu Jhony sambil merengkuh bahu Johanna.
“Kau mau aku mengantarmu? Kudengar sopirmu sedang tak bisa menyetir sejak aku bermain dengannya.” Jhony berkata lagi setelah menyadari tak ada jawaban dari Johanna.

Continued in Chapter 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar