Minggu, 25 Desember 2016

Cerpen : Listen to Me



Listen to Me

Author : Shin Yoon Ah
Genre : Horror, Romance
Cast : Dalon, Kristine, Peercie, Partent

Dalon berusaha menyeret badannya. Ia tidak merasakan sakit dan tidak ada luka apapun di tubuhnya. Tapi entah mengapa badan yang selama ini ia banggakan seolah ditahan benda berat dan sangat kaku untuk digerakkan. Dalon ingin keluar dari tempat gelap yang membuatnya pengap dan kesulitan bernafas itu. Bau anyir darah seorah memaksa masuk ke rongga hidungnya. Ia hanya melihat beberapa barang tua yang teronggok dimana-mana dengan cairan yang menetes dari atasnya.Ia tidak pernah menduga bahwa air itu adalah tetesan darah yang entah berasal darimana. Namun yang lebih membuatnya ingin berteriak adalah tetesannya semakin deras dan berubah menjadi aliran darah yang membuat ruangan itu tenggelam semakin tinggi dan membuatnya jijik.
Dalon menaiki sebuah meja rias usang yang berada di sudut, berharap genangan air berwarna merah itu tidak akan menyentuhnya. Namun satu hal yang membuatnya kebingungan. Semua barang di sini meneteskan darah. Kecuali barang yang dinaikinya, masih sangat putih walaupun banyak debu di sana. Tersadar ada hal aneh, Dalon melihat sekelilingnya. Kanan, kiri, bawah, kembali ke depan. Tetapi tak ada apapun yang mencurigakan. Dalon berdiri tegak dan menoleh ke belakang… namun tak ada apapun selain dinding usang. Ia melihat ke atas hanya ada lubang besar di atap bagian atasnya.
Dalon sudah memastikan semua sisi di sekitarnya. Tak ada yang mencurigakan. Tapi ia merasa agak janggal. Di tengah kejanggalan itu, matanya menangkap sesuatu di bawah meja tepat di sudut yang berlawanan dengannya. Sepasang mata menatapnya. Dalon terperanjat dan merapat ke dinding. Namun dinding itu menghilang dan ia jatuh ke belakang dengan wajah menghadap ke atas tepat di depan wajah pemilik mata yang entah sejak kapan telah berpindah ke atasnya dan menatapnya. Ia berteriak sejadinya. Setiap ia memperkeras suaranya ruangan semakin terang dan terang. Namun wajah gadis itu tak mau menjauh dari wajahnya. Dan di saat ia mengeluarkan suara terakhirnya, wajah itu berubah menjadi wajah seorang wanita cantik.
“Ada apa? Kau bermimpi buruk lagi? Lebih buruk?” Wanita ini berbicara pada Dalon.
“Sepertinya begitu, Dear.” Wajah Dalon benar-benar pucat dan suaranya bergetar.
“Kemarilah! Mungkin ini akan membuatmu lebih baik.” Kristine memberikan Dalon sebuah pelukan lembut yang hangat.
Sepanjang malam Kristine dan Dalon sama sekali tidak tidur. Kristine tidak ingin meninggalkan kekasihnya yang tidak bisa tidur itu. Jam menunjukan pukul 05.00 a.m, 2 jam lagi mereka harus berangkat ke kampus. Dalon memutuskan untuk mandi. Sedangkan Kristine menuju dapur untuk memanggang roti dan menyeduh kopi instant untuk Dalon. Setelah itu ia masuk ke kamar mandi. Mereka memang tidur di rumah yang sama. Yaitu rumah milik ayah Dalon.
Di ruang tamu rumah, Dalon menikmati kopi dan rotinya ditemani Kristine yang menyantap salad buahnya. Kristine mencoba mencari topik pembicaraan yang menarik tetapi tidak menyangkut mimpi buruk Dalon. Akhir – akhir ini Dalon memang sedikit pendiam dan sering melamun. Kristine terpaksa harus menjadi lebih banyak bicara agar hubungan mereka tidak sepi. Di tengah kebingungannya seorang perempuan membawa segelas jus dan duduk di depan sepasang kekasih yang sedang dirundung kesepian itu.
“Peercie, kau menyelamatkan kami dari suasana mengerikan makam ini.” Batin Kristine.
“Apa yang semalam kau lakukan pada Kristine-ku? Dia tidak kembali ke kamar setelah mengunjungi kandang yang kau sebut kamarmu-istanamu itu.” Peercie melirik curiga pada Dalon.
“Aku memakannya.” Dalon tersenyum dan menggenggam tangan Kristine dan pergi meninggalkan Peercie. Ia segera menyeruput jusnya lalu berlari menyusul sepasang kekasih yang sudah mulai menghidupkan mesin mobil itu.
Di kampus mereka berpisah. Dalon pergi menuju taman belakang kampus untuk mencari sahabat terbaiknya, Partent. Ia ingin menceritakan mimpinya semalam kepada lelaki hitam manis itu. Dalon benar-benar tidak akan bisa menyimpan hal semenakutkan itu untuk dirinya sendiri. Ia juga tidak ingin Kristine mengetahuinya. Karena Dalon tau Kristine akan sangat ketakutan saat ia menceritakan hal seperti ini.
“Hai, Meloon. Apa kau mencari Kristine? Aku melihatnya memasuki ruang dosen bersama My Curly Angel. Apa kalian bertengkar?” Tidak ada lelaki lain yang akan memanggil Peercie dengan sebutan seperti itu selain orang yang suka padanya dan sedang Dalon cari sampai ke sudut-sudut kampus.
“Aku mencarimu. Kami tidak bertengkar. Dan Ten, bisakah kau berhenti memanggilku seperti itu?”
“Tidak.” Jawabnya singkat seraya memeluk Dalon. “Apa lagi kali ini?” sambungnya.
“Malam ini seorang gadis ada di mimpiku.”
“Gadis itu selalu di mimpimu kan akhir-akhir ini? Aku bosan mendengarnya.” Partent acuh.
“Ya. Aku melihat wajahnya tadi malam. Sedekat ini.” Dalon mengangkat tangannya sejauh 10 cm di depan hidungnya.
“Benarkah? Seperti apa dia? Apakah secantik Peercie?”
“Kau gila. Wajahnya penuh dengan luka sayatan dan berlumuran darah. Rambut panjangnya berantakan. Matanya benar-benar putih dan hanya memiliki sebuah titik hitam di setiap matanya. Jika kau sepertiku, aku yakin kau akan benar-benar gila.” Dalon mengatakannya dengan menggebu-gebu dan membuat Partent tidak bisa berpikir dan merasa sedikit merinding.
“Bisa kita bahas yang lain? Seperti mata kuliah atau apapun selain ini.”
Mimpi buruk demi mimpi buruk terus berdatangan kepada Dalon. Tapi tetap saja ia tidak ingin memberitahu Kristine apa isi mimpinya. Kristine juga tidak berani menanyakannya karena ia selalu merasa takut saat melihat kekasihnya berteriak ketakutan dan tersiksa seperti apa yang ia lihat setiap malam. Jadi ia memutuskan untuk melupakan semua yang ia lihat setiap malam saat ia melintasi kamar Dalon.
Lama kelamaan Dalon mulai seperti orang tak terawat. Ada lingkaran hitam di matanya. Tubuhnya juga kehilangan berat badan. Itu membuat Kristine khawatir. Sampai suatu malam Kristine melewati kamar Dalon dan melihat pria itu duduk bersandar di kursi sebelah meja belajarnya. Ia mengetuk pintu kamar tersebut tetapi Dalon tak kunjung membukanya. Kristine membuka pintu yang memang tidak pernah terkunci tersebut.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Kristine cukup khawatir.
Dalon yang baru sadar Kristine ada di dalam kamarnya sedikit tersentak dan wajahnya berubah semakin pucat dan tampak khawatir. Ia menegakkan punggungnya dan berkata, “Dear, apa yang kau lakukan disini?”
“Aku hanya ingin memastikan kau…” perkataan Kristine terpotong oleh Dalon yang semakin terlihat khawatir.
“Pergilah! Tinggalkan aku sendiri.”
“Tapi kau terlihat tidak sehat, dear. Aku akan menemanimu malam ini. Kau kurang tidur.” Kristine mulai menaikkan nadanya seolah menegaskan bahwa ia akan tetap di sana.”
“I’m fine. Kumohon pergilah.” Nada Dalon jauh lebih tegas.
“Tapi aku…”
“Go away. I’m fine. I love you, please stay away from me.”
Kristine tetap menolak untuk pergi walaupun Dalon memaksa. Mereka saling berteriak namun Dalon sama sekali tidak berpindah dari tempatnya duduk. Kristine mendekati Dalon untuk mencoba menenangkannya. Namun gadis itu benar-benar tersentak ketika melihat pergelangan kiri kekasihnya terlihat biru kemerahan seperti luka bakar dan ada beberapa luka kecil yang mengeluarkan darah di sana.
“Kau sebut ini tidak apa-apa?” Kristine sedikit kesal bercampur khawatir.
Perlahan ia lebih mendekat lagi. Tapi dihentikan oleh Dalon. Kristine tetap mendekat dan ia melihat sesosok wanita dengan wajah penuh luka dan dipenuhi darah berdiri di belakang kekasihnya. Gadis itu menatap tajam ke arah Kristine dan memeluk bahu Dalon. Di sela ketakutannya Dalon masih sempat menyuruh Kristine pergi. Kristine sempat ragu. Namun saat tangan wanita hantu itu terjulur ke arahnya ia sempat berlari keluar. Namun tepat saat ia keluar dari kamar, pintu kamar tertutup dan terkunci. Kristine segera berlari ke balkon tempat Partent dan Peercie sedang duduk berdua. Ia menceritakan semua kejadiannya.
“Bibiku adalah seorang cenayang. Rumahnya tak jauh dari sini. Haruskah aku menjemputnya untuk Dalon?” Partent mengirim pesan ke bibinya dan segera menuju rumah bibinya, Leona. Sedangkan Peercie menenangkan Kristine yang masih sedikit shock. Tak lama kemudian Partent dan bibinya sampai di rumah. Tanpa banyak mengoceh Partent mengantar bibinya bersama Kristine yang masih dirangkul oleh Peercie. Namun di jarak 10 meter dari kamar Dalon Bibi Leona mendadak berhenti.
“Wanita ini… tidak ingin kau ada di dekat Dalon. Tinggallah di sini!” Kristine tidak membangkang. Ia tidak ingin wanita itu melukai Dalon lagi.
“Peercie, apa Dalon akan baik-baik saja?” Kristine menggigil di lengan Peercie.
“Berdoalah untuknya.” Peercie memeluk Kristine semakin erat.
Partent membuka pintu kamar Dalon untuk membiarkan bibinya masuk. Pintu yang tadinya terkunci itu kini bisa dibuka dengan mudah. Baru 2 langkah memasuki pintu Partent merasa ingin muntah karena mencium bau anyir darah yang berasal dari genangan air di bawah kursi tempat Dalon duduk. Ia ingin berlari keluar namun tangan Bibi Leona memegangnya erat.
“Jangan pergi. Jadilah yang pertama.”
Partent tersentak. Ia menyadari sesuatu. Tak ada siapapun di belakang Dalon. Dan Dalon juga tidak menyuruhnya pergi saat ia masuk seperti yang dialami Kristine sebelumnya.
Di luar, ponsel Partent yang berada di saku celana Peercie bergetar. Gadis itu heran di saat seperti ini ada saja yang mengirim pesan kepada kekasihnya. Ia membuka pesan tersebut dan matanya mendadak melebar. Ia melepaskan pelukannya pada Kristine dan membaca pesan itu berulang-ulang sambil berpikir. Kristine merasa aneh dengan sikap sahabatnya itu segera merebut ponsel Partent dan membaca pesan baru tersebut.
From :Aunty Leona
Maafkan Aunty,Ten. Aku sedang di luar kota untuk mengurusi sebuah kasus bunuh diri. Tentang temanmu, aku tau ini darurat. Tapi aku sedang jauh dari rumah. Butuh waktu 2 jam untuk kembali pulang. Untuk membantunya ambillah buku kecil di tempat mainanmu di rumahku. Itu akan sedikit melindungimu dan teman-temanmu. Sekali lagi maafkan Aunty. Aunty menyayangimu.

Tanpa pikir panjang Kristine berlari menuju kamar Dalon disusul Peercie yang sangat ketakutan. Saat berusaha membuka pintu kamar Dalon yang kembali terkunci, sesuatu menarik Peercie menuju serambi lantai 2. Kristine hanya bisa melihat hal itu karena ia sendiri sangat sibuk membuka pintu kamar Dalon. Di sana ada Bibi Leona yang akan membantunya. Meskipun ia tau itu bukan Bibi Leona. Tapi siapapun dia Kristine berharap wanita itu akan membantunya. Tapi pemandangan mengerikan yang ia lihat di dalam kamar itu. Partent dengan dada yang robek dan darah yang menggenang.
 Ada dua warna darah yang menyatu di lantai. Yang pertama berwarna gelap dan kental namun terlihat segar. Yang kedua berwarna lebih terang dan lebih encer berasal dari kursi tempat Dalon tadi duduk. Dalon!!! Kristine baru sadar bahwa Dalon sudah tak akan di kamar itu. Ia segera berlari ke serambi lantai 2 tempat Peercie menghilang. Ia melihat garis darah yang sepertinya berasal dari sesuatu yang di seret. Yang lebih mengejutkan darah itu melompati pagar pembatas. Kristine melihat ke bawah dan melihat sahabat terdekatnya tergeletak penuh darah di bawah sana. Ia hampir jatuh tersungkur jika saja Dalon tidak memegang tangannya.
“Aku menyuruhmu pergi. Kenapa kalian tidak mendengarku?” Dalon memeluk Kristine. Darah segar mengalir membasahi baju Kristine.
“Kau terluka. Jangan bergerak. Kita harus ke rumah sakit.” Dalon menolak. Ia berkata mereka tidak akan bisa keluar dari tempat itu. Tetapi Kristine tetap tidak mengindahkannya. Ia tetap berusaha memaksa Dalon untuk berjalan. Namun kakinya yang lemah dan kekuatan lengan Kristine yang tak cukup kuat untuk menopang tubuh Dalon membuat Dalon menggelinding dari tangga teratas menuju lantai dasar. Kristine hanya bisa terkejut, menangis, dan berlari ke lantai dasar untuk berusaha menyadarkan kekasihnya. Ia memeluk tubuh Dalon dengan perasaan menyesal.
“Tidak bisakah kau mendengar perkataan orang lain?” Suara serak yang tajam terdengar menggema di seluruh penjuru ruangan. Dan muncullah sosok wanita yang menurut Kristine telah membunuh semua orang yang ia sayangi.
“Kau!! Apa yang kau inginkan? Mengapa kau membunuh mereka semua?!” Kristine berdiri dan menunjuk tepat di depan wajah wanita yang penuh luka itu.
“Beraninya kau menunjukku dengan tangan kotormu itu!” Wanita itu sangat nampak tidak menyukai perlakuan Kristine terhadapnya.
“Kau pikir aku takut denganmu? Wajah buruk rupamu ini tak lagi menakutkan untukku. Tapi itu sungguh sangat menjijikkan, pembunuh!!” Kristine terlihat benar-benar marah. Tetapi hantu wanita itu malah melihat tangan Kristine dan tersenyum.
“Jadi ini tangan yang dari seorang pembunuh yang menjijikan itu?” Wanita itu memaksa Kristine menurunkan tangannya.
“Apa maksudmu?! Kau yang membunuh mereka!” Kristine masih dengan nada tinggi.
“Aku?? Bukankah kau yang tidak mendengarkan perkataan kekasihmu dan membuat semua orang terbawa masalah bodoh ini? Jadi kau yang membunuhnya!” Wanita itu terkikik.
“Kau yang membunuhnya!” Kristine berteriak.
“Dengan bantuanmu, pembunuh.” Wanita itu lalu menghilang tapi suaranya tetap bergema di setiap ruangan di rumah itu.
“Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!!”
“Aku bukan pembunuh. Itu bukan aku.” Kalimat itu yang selalu diucapkan Kristine untuk membantah.
“Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!!”
Keesokan harinya Kristine ditemukan tak bernyawa dengan telinga mengaluarkan darah dan bola matanya berubah putih dengan sebuah bintik kecil di tiap matanya. Polisi berusaha mengungkap pembunuhan tragis yang menyangkut 4 mahasiswa tersebut. Namun kasusnya tak pernah terpecahkan bahkan oleh detektif terbaik sekalipun.

Maaf yaa kalo absurd.. baru percobaan soalnya.. dan lagi ini cerpen lama ungkit kembali ^^
Maaf yaa mimin telat upload soalnya masih sibuk banget T_T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar