How My Heart Dissolved
Author : Shin Yoon Ah
Dia Fify, gadis 16 tahun yang selalu menerima candaan teman
sekolahnya yang berlebihan. Fify sangat cantik dengan rambut pirang sepunggung
dan kulit putih meronanya. Wajah inilah yang membuat teman-temannya selalu
mengganggunya. Entah iri atau apa. Disebut menggangu karena Fify sendiri merasa
terganggu.
Tetapi ada seorang lelaki yang selalu membantunya dan mengisi
hari-harinya saat ia merasa sedih. Fauzan, lelaki seusia Fify yang menjadi
temannya sejak pertama masuk SMA. Fauzan selalu membantu Fify berdiri saat ia
jatuh karena Panji. Semua orang tau Fify menyukai Panji. Itu membuat Panji
besar kepala dan selalu mempermainkan Fify. Fify bukan bodoh. Hanya cinta yang
membutakannya.Tapi saat itu terjadi, pria tampan bernama Fauzan akan selalu ada
untuk Fify.
Seperti sekarang, Panji mendekati Fify saat ia sedang duduk di
sebuah meja di kantin. Ia duduk persis di depan Fify, tidak lebih dan tidak
kurang. Fify yang sedang menekuni hobbynya mengangkat kepala dari novel dan menatap
Panji. Hatinya bersorak gembira. Ia ingin segera tersenyum lebar dan menyapa.
Tetapi ia teringat kebiasaan buruk Panji mempermainkannya.
“Hai, Fy.” Sapa Panji dengan senyum yang membuat Fify ingin pingsan
saat itu juga. Dan hanya dibalas senyuman oleh Fify.
“Cuma gitu aja? Bangku ini nggak ada yang punya kan?” secepat kilat
Fify menggeleng. Panji tersenyum puas karena sifat Fify yang biasanya kembali
muncul.
“Lo cantik deh Fy hari ini.” Panji mengangkat satu alisnya. Fify
merasa pipinya memanas. Dan hal itu diketahui oleh Panji. Panji tertawa dan
mulai mengejek Fify, “Lo gampangan banget sih? Digituin aja malu-malu.”
Fify mengangkat wajahnya yang tertunduk tersipu. Wajahnya semakin
memerah. Tetapi kali ini karena ia merasa benar-benar malu. Ia ingin segera
lari dari tempat itu. Tetapi jika ia lari begitu saja, itu hanya akan membuat
Panji semakin puas. Jadi ia hanya menundukkan kepalanya kembali sampai kemudian
tangannya ditarik oleh sesuatu. Ya, sesuatu itu Fauzan. Ia menarik Fify dan
memaksanya berdiri.
“Jaga rahang lo! Menurut gue lo yang nggak punya malu.” Hanya itu
yang Fauzan ucapkan dan menarik Fify pergi.
Hal seperti itu terjadi terus berulang-ulang hingga Fauzan merasa
letih. Ia benar-benar kagum dengan wanita yang saat ini ada di sebelahnya
menikmati bubble-tea sambil memainkan kaki itu. Fify benar-benar lemah saat
menghadapi Panji. Fify yang merasa diperhatikan oleh Fauzan merasa tidak
nyaman.
“Zan, lo kenapa sih? Risih gue lo liatin gitu.”
“Fy, lo itu bego atau apa sih?” Fify hanya mengangkat salah satu
alisnya pertanda tidak mengerti.
“Lo itu udah dimainin berkali-kali gitu sama Panji. Masih aja lo
suka sama dia.”
“Ih elo mah. Ini itu namanya cinta. Nggak pernah jatuh cinta sih.
Makanya cari cewek dong.”
“Idih. Cinta kok kaya gitu. Cinta itu…” belum sempat Fauzan
meneruskan kata-katanya Fify sudah mengulurkan bubbletea miliknya yang tinggal
setengah ke depan wajah Fauzan.
“Ambil nih! gue jadi badmood gara-gara lo.” Kata Fify sambil
meninggalkan Fauzan.
Dalam hati Fify merasa Fauzan benar. Bukan cinta jika salah satu
pihak tersakiti. Tetapi Fify tidak ingin Fauzan menganggapnya lemah. Dan
seperti sebelumnya, cinta Fify untuk Panji yang membuatnya sekuat ini.
Selama ini yang Fauzan tau Fify selalu menerima dengan lapang dada
apapun yang dilakukan Panji padanya. Padahal tidak. Fify selalu merasa sakit
hati yang teramat sangat setelah Panji mempermalukannya. Ia sengaja
menyembunyikannya dari Fauzan karena Fify tau saat Fauzan tau pria itu akan
sangat marah.
Sampai suatu hari, tanggal 7 Maret yang seharusnya menjadi Sweet Seventeen
untuk Fify. Sebuah party diadakan di sebuah rumah makan terkenal di kota itu.
Hampir semua teman sekolah Fify datang. Keluarga Fify merupakan salah seorang
keluarga yang cukup disegani di sana karena keberhasilan bisnis ayahnya. Jadi
mana mungkin ada murid SMA yang tidak ingin mengikuti Big Party seperti ini?
Tidak ada. Termasuk Panji dan teman-temannya.
Saat acara inti. Fify mencari keberadaan Panji. Ia sempat melihat
Panji memasuki ruangan itu. Tetapi ia tidak melihatnya lagi saat di dalam. Ia
sedikit dikejutkan oleh suara Panji di microphone saat musik berhenti.
“Fy, lo dimana?” Fify spechlees. Ia tidak tau Panji begitu romantis
di depan semua orang dengan memanggil namanya. Berbeda dengan Fauzan yang
merasa panik. Ia takut Panji akan mempermalukan Fify di depan semua orang
termasuk orang tua Fify.
Fify segera berlari ke sumber suara. Di sana ia melihat Panji duduk
di depan microphone. Fify yakin Panji akan menyanyikan sesuatu. Fify sangat
yakin. Fauzan yang sejak awal berada di sana juga agak terkejut. Panji duduk
seolah-olah ia akan bernyanyi. Benarkah Panji akan bernyanyi untuk Fify malam
ini? Ada sebersit rasa sakit di hati Fauzan. Ia membayangkan jika itu terjadi
maka rencananya akan gagal. Tetapi ia kembali teringat Fify yang selalu
tersenyum lebar saat bercerita tentang keberhasilan Panji dalam hal apapun. Ia
segera menyingkirkan jauh-jauh rasa sakit itu.
“Fify, gue mau minta maaf sama lo.” Fify merasa penasaran. Tapi
aneh, jantungnya tidak berdetak kencang seperti biasa saat Panji mengucapkan
kata-kata manis untuk mempermalukannya. Pipinya juga tidak bersemu merah.
Tetapi Fify sendiri tidak menyadarinya.
“Om, Tante, saya minta maaf karena pake acaranya Fify buat ini.”
Orang tua Fify merasa mereka sudah tidak boleh ikut campur urusan ini. Jadi
mereka memutuskan untuk keluar.
“Fy, di sini, di party lo, gue mau ngungkapin perasaan gue.” Fauzan
gemas dengan cara Panji yang berhasil membuat semua orang di ruangan itu
penasaran termasuk Fify dan Fauzan. Itu membuat hati Fauzan semakin panas.
“Lagu ini gue nyanyiin buat orang yang gue suka…” Mata Panji yang
tadinya menatap Fify berpindah arah. Ia melayangkan pandangannya ke semua orang
di ruangan itu.Ia sengaja menahan nama gadis yang akan ia sebut. Lalu matanya
berhenti tepat di satu titik. Tetapi Fify tidak bisa melihat arah tatapan itu
karena banyaknya orang di sana.
“Buat orang yang gue suka, Ratna.” Tepuk tangan bergemuruh memenuhi
ruangan. Tetapi tepukan itu bagaikan suara petir yang menambah kelam gemuruh
hati Fify. Dan bagaikan kilat yang menyadarkan Fauzan bahwa Fify pasti terluka.
Fauzan segera berlari menyeruak diantara orang-orang yang
berdesakan. Ia berusaha mencari Fify. Ia terlalu sibuk mencari gadis cantik itu
sampai tali sepatunya terlepas dan membuatnya terpaksa harus mengikatnya di
tempat jika tidak ingin terinjak orang lain dan jatuh. Fauzan harus membungkuk
cukup rendah hingga ia tidak sadar beberapa centimeter dari wajahnya tergantung
sebuah tas dari bahu seorang gadis. Tak dapat dihindari wajah mulus Fauzan
terbentur tepian tas itu cukup keras. Sambungan rantai di tas itu melukai pipinya
hingga berdarah. Saat ia berniat mengusapnya ia melihat gadis bergaun pink
lembut berlari keluar ruangan. Seolah lupa dengan lukanya Fauzan berlari mengikuti
gadis itu.
Fify benar-benar merasa terluka. Ia duduk di taman yang berada di
belakang rumah makan itu. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia hanya berharap Fauzan
tidak melihatnya berada di sana. Sesaat sebelum Panji melakukan hal bodoh tadi Fify
sempat melihat Fauzan sedang berbicara dengan seorang gadis cantik. Sayangnys
Tuhan belum mengabulkan keinginan gadis itu. Karena beberapa saat kemudian
Fauzan mengulurkan sapu tangan pada Fify dan duduk di sebelahnya.
“Pake nih! Kadang cinta itu sakit Fy. Dan saat rasa sakit itu udah
nggak bisa ditahan lagi, lo harus bisa move on.”
“Tapi gue nggak bisa lupain orang yang gue sayang gitu aja.” Kata Fify
sambil mengusap air matanya yang masih terus mengalir dengan salah satu ujung
saputangan itu.
“Lo bener Lun. Susah juga buat gue lupain perasaan gue.” Fauzan
berkata pelan tetapi tetap saja terdengar oleh telinga Fify.
“Perasaan lo? Lo suka sama siapa?”
“Ehh? Nggak kok…” Belum sempat Fauzan melanjutkan kalimatnya Fify
menyentuh sebelah pipinya yang terluka. Fauzan merasa terkejut. Tangan wanita
yang ia cintai untuk pertama kalinya menyentuh pipinya selembut ini.
“Ini kenapa Zan?” Fify menyadarkan Fauzan dari lamunannya.
“Tadi ketabrak tasnya mbak-mbak waktu nyariin lo. Lo sih
nyelip-nyelip.” Fauzan merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Fify yang
sekarang dengan Fify beberapa detik yang lalu. Ia seolah lupa dengan lukanya yang
ia dapat dari Panji.
“Nih sapu tangan lo, bersihin tuh darah. Lo kaya abis digigit
vampire tau nggak.” Senyum manis itu tumbuh lagi di wajah Fify. Dan membuat
Fauzan merasa lebih tenang.
“Emangnya ada vampire gigitnya di pipi?” Fauzan mencoba
memperterang suasana. Dan itu disambut baik oleh Fify.
“Siapa tau aja.” Fify merebut sapu tangan yang dipegang Fauzan dan
menggoreskannya pelan di pipi Fauzan. Itu membuat Fauzan terkejut untuk
kesekian kalinya. Beruntung ia segera bisa menguasai diri.
“Gue kan ganteng. Mana mungkin vampire tega gigit gue.”
Fify menekan cukup keras tepat di luka Fauzan. “Jangan kepedean
deh.” Cibir Fify yang segera beranjak pergi.
“Ayo masuk. Gue nggak mau vampirenya kesini. Gue belum siap mati.”
Tanpa ba-bi-bu Fauzan segera berlari menyusul Fify.
Keesokannya Fify duduk di taman sekolahnya sendirian. Tiba-tiba ia
merasa seseorang duduk di sebelahnya. Panji duduk di sana dengan senyum
cengengesan seperti biasa. Fify tau Panji pasti ingin mengungkit masalah
semalam yang susah payah berusaha Fify lupakan.
“Makasih ya semalem. Gue jadi bisa jadian sama Ratna.” Terdengar
sedikit nada pamer disana.
“Sama-sama, nji. Gue juga seneng kalo kalian seneng. Gue juga
seneng akhirnya gue bisa bebas dari lo. Makasih balik ya buat semalem.” Dengan
percaya diri Fify meninggalkan Panji yang melongo mendengar Fify berbicara
seperti itu kepadanya. Awalnya ia mengira Fify akan diam saja atau malah
mungkin menangis.
Bukan hanya Panji yang terkejut. Fauzan pun terkejut. Ia sempat
melihat dari jauh apa yang dua orang tadi bicarakan. Saat Fify pergi ia segera
menyusulnya. Ia melihat Fify berpindah ke kantin. Ia segera duduk di sebelah gadis
itu.
“Lo nggak apa-apa kan Fy? Lo berubah.” Fauzan menunjuk ke arah
taman.
“Kenapa? Lo kaget juga? Gue sendiri aja kaget gue bisa kaya gitu.” Ucapan
Fify membuat Fauzan bertambah heran.
“Mungkin ini bukti dari yang lo omongin dulu, Zan. Saat rasa sakit
gara-gara cinta udah nggak bisa ditahan lagi, gue harus bisa move on. Gue nggak
ada niat buat move on dari Panji. Tapi kayanya hati gue sendiri yang capek
disakitin sama dia.” Jelas Fify.
“Lo sendiri udah move on belum?” Sontak Fauzan terkejut. Tapi mau
tak mau ia harus menceritakannya pada gadis cerewet di sebelahnya.
“Mungkin susah Fy buat gue move on dari dia. Secara dia itu
segalanya banget buat gue.”
“Lo niat nembak dia?” Fify menggeser duduknya mendekati Fauzan. Fauzan
merasa Fify cukup antusias. Jadi ia tidak tega untuk memutus percakapan mereka.
“Entahlah Fy. Gue juga bingung. Gue takut malah bikin dia sakit
hati.” Fauzan menunduk diikuti Fify.
Kesunyian menyeruak di antara mereka untuk beberapa saat.
“Sejak kapan lo suka sama gue?” Fify mengejutkan Fauzan.
“Gue minta maaf gue baru sadar semalem.” Lanjut Fify. Tersirat
sesuatu yang tidak bisa dibaca Fauzan di mata Fify.
Singkat cerita Fify menjadi pacar Fauzan. Sekarang kapan pun dan dimana
pun Panji menanyai Fify, “lagi ngapain Fy?” Fify selalu menjawab, “nunggu cowok
gue. Fauzan.” Sampai, kelamaan seorang Panji merasa diabaikan oleh Fify. Ia
merasa rindu dengan Fify yang selalu tersenyum kepadanya seperti dulu.
Sedangkan Fify yang sekarang seolah sangat bahagia menjadi kekasih Fauzan.
Siang itu, 12 Maret Fify berencana pulang bersama Fauzan setelah
les musiknya. Tetapi baru setengah jalan pulang Fify melihat mobil Mamanya di
seberang jalan. Pak Mamad, sopir Mama Fify berusaha menghentikan motor Fauzan. Saat
motor Fauzan telah berhenti Pak Mamad menyuruh Fify masuk ke mobil untuk
menghadiri acara di kantor Papa Fify.
“Udah lah Fy. Kamu ikut Mama kamu aja.” Fify bimbang. Entah mengapa
rasanya berat meninggalkan Fauzan.
“Tenang aja. Aku langsung pulang kok. Aku nggak akan sama cewek
lain. Aku bakalan jadi pacar kamu sampai mati deh pokoknya.” Fify tersenyum.
Fauzan jarang sekali mengatakan sesuatu yang menurut Fify norak seperti itu.
“Ya udah deh. Aku ikut Mama ya. I Love You.” Kalimat terakhir
terucap begitu saja dari bibir Fify.
Setelah mendapat jawaban dari Fauzan, Fify memasuki mobil Mamanya. Fify
sengaja menyuruh Pak Mamad melajukan mobilnya saat Fauzan sudah pergi. Dan saat
Fauzan sudah mulai menghidupkan mesin motornya Pak Mamad melakukan hal yang
sama. Rumah Fauzan dan Fify searah. Jadi Fauzan tidak perlu memutar balik arah.
Fauzan melajukan motornya diikuti mobil Fify yang melaju berlawanan arah. Belum
ada 5 detik terdengar dentuman cukup keras di belakang mobil Fify.
“Pak, STOP!!!” Fify segera keluar mobil dan berlari ke arah Viction
merah yang tergeletak di jalan. Fify berdiri mematung di depan seorang lelaki
yang darahnya mulai mengalir ke sepatu Fify.
“Fauzan…. FAUZAN!!!!!”
Dunia seolah berputar dengan cepat di mata Fify. Pandangannya
seketika kabur. Lutut Fify kehilangan kekuatannya. Ia terduduk di sebelah
kepala Fauzan yang di salah satu sisinya mengalir darah segar. Fify tidak
peduli dengan darah di sekitarnya. Ia merengkuh Fauzan. Ia tidak peduli baju
kesayangannya akan bersimbah darah. Ia tidak peduli dengan orang-orang di
sekelilingnya. Ia tidak peduli dengan Mamanya yang merasa ngeri melihat darah
sebanyak itu keluar dari kepala kekasih putrinya. Fify tidak peduli dengan
apapun, kecuali Fauzan. Lalu semuanya gelap.
Di pemakaman sore itu Fify tidak bisa berkata-kata. Ia hanya diam,
menangis, terduduk di sebelah gundukan tanah yang baru saja dibentuk. Resti,
kakak perempuannya memeluk Fify berusaha menyalurkan kehangatan tubuhnya. Fify
tidak bisa berhenti menyebut nama Fauzan. Jika bisa ia ingin menggali kembali
makam itu dan memeluk tubuh yang ada di dalamnya. Tetapi tenaganya telah
terkuras habis untuk menangis sejak kematian Fauzan tadi siang.
Satu hari berikutnya Fify lalui tanpa Fauzan. Ia hanya duduk di
sudut kamar meratapi kematian Fauzan. Ia merasa kematian Fauzan adalah
salahnya. Ia tidak berhenti menyakiti dirinya sendiri. Mulai dari memukul
kepalanya, hingga mendadak berlari ke dapur untuk mengambil sebilah pisau yang
telah berhasil menggores sedikit lengan gadis itu. Jika Resti tidak menghalanginya
sudah bisa dipastikan Fify telah tewas.
Fify selalu mengatakan hal yang sama kepada Resti saat Resti mengajaknya
bicara,“Mbak, kalo kemarin gue nggak turun dari motor Fauzan, dia nggak mungkin
ninggalin gue kayak gini. Kita pasti bakalan selalu berdua, Mbak. Malah mungkin
dia nggak akan mati. Kalo gue ada di boncengan Fauzan waktu itu gue pasti bisa
liat truk yang mau lewat itu mbak. Gue pasti bisa nyelametin Fauzan. Tapi
gara-gara gue dia jadi…jadi…” Dan dilanjutkan dengan air mata Fify. Saat menangis,
Fify selalu menarik-narik rambutnya. Tak heran gadis cantik itu jadi seperti
orang gila.
Tetapi malam itu 14 Maret, 2 hari setelah kematian Fauzan. Di luar
kesunyian menemani kegelapan. Jalanan sepi. Sesepi kamar Fify. Tak terdengar
tangis lagi dari sana. Mama Fify merasa aneh dengan kesunyian yang mendadak
datang itu. Ia berniat memasuki kamar anaknya ketika seorang gadis dengan
celana jeans biru panjang dan kaos merah maroon yang diselimuti rumpi sewarna
dengan celananya, membawa tas merah menuruni tangga di depan Mama Fify. Ia
melewati Mamanya dan menuju dapur.
“Mama, Fify mau keluar rumah dulu. Fify pengen sendiri dulu. Fify
capek. Fify mau ke rumah tante.” Mama Fify mengizinkan gadis itu pergi. Ia
merasa gadis itu memang harus menenangkan diri. Hanya saja ia agak terkejut
dengan Fify yang memilih mengendarai motor sendiri. Mama Fify mengira Fify
masih trauma menaiki motor karena kejadian 2 hari lalu.
Mama Fify merasa anak bungsunya berubah. Ia mulai merasa gelisah sampai
ia mendengar deru mobil berhenti di depan rumahnya. Terdengar juga Resti
membukakan pintu untuk pemilik mobil itu.
“Kak, Fify ada nggak? Di luar sepi banget. Emang Fify udah nggak
nangis lagi?” Suara Panji yang sudah akrab dengan Resti sejak kematian Fauzan
itu menyentak Mama Resti untuk segera menemuinya.
“Panji, tolong kamu cari Fify ya. Dia belum lama keluar. Pasti
masih deket. Dia tadi keluar sendiri pake matic-nya Resti.” Tanpa ba-bi-bu lagi
Panji segera memasuki mobilnya dan mulai mencari matic biru yang dikenalinya
sebagai motor Resti.
Panji memutuskan hubungannya dengan Ratna dan berusaha dekat dengan
Fify sejak kepergian Fauzan. Tak heran Resti dan Mamanya sudah cukup akrab
dengan Panji setelah dua hari terakhir ini selalu datang atau menelfon untuk
menanyakan kabar Fify.
Fify menuruni motornya dan berdiri di depan gapura sebuah kompleks
pemakaman tempat jasad Fauzan beristirahat. Sesuatu merubah Fify saat ia
memasuki kompleks pemakaman itu. Wajah muramnya berganti dengan senyum manis.
Seperti anak kecil yang akan diberi boneka, ia berlari kecil menuju kuburan
Fauzan. Ia duduk di pinggir makam itu dan mengatakan sesuatu.
“Fauzan, aku sayang sama kamu sampai aku mati.” Ia tersenyum dan
mengeluarkan sesuatu yang tajam dari dalam tasnya. Ia sempat mengambil sebilah
pisau dari dapur saat berbicara dengan Mamanya.
Saat logam itu hampir mengenai perut Fify seseorang menahan
tangannya. Panji tidak rela Fify bunuh diri dengan cara seperti ini. Panji
sudah siap jika Fify akan memukulinya. Tetapi ternyata Fify malah menangis
tersedu-sedu. Emosi Fify berganti dengan mudahnya.
“Panji, lepasin gue! Mending lo pergi aja.” Panji pun melepas
tangan gadis itu tapi menolak untuk pergi. Fify terus memaksa Panji untuk
pergi, tapi sebanyak apapun Fify memaksa sebanyak itu pula Panji menolak.
“Kalo gitu maafin gue.” Tanpa sempat Panji berkata lagi Fify telah
menggores pergelangan tangan kirinya sendiri. Panji yang terkejut segera
menahan kedua tangan Fify. Fify berontak dan tanpa sengaja menggores pisau
sangat dalam di leher Panji. Perlahan Panji melepas genggamannya dan jatuh tak
bernyawa.
Fify semakin bingung. Ia mengguncang tubuh Panji, matanya tertumpu
pada leher yang penuh darah itu. Ia jadi teringat luka di tangannya. Kenapa ia
belum mati? Padahal luka itu dalam.
Walaupun tidak sedalam luka di leher Panji tetapi harusnya itu cukup untuk
membunuh seorang gadis. Ia segera mengambil pisaunya yang sempat ia lempar.
Saat ia akan menyakiti tubuhnya sendiri ada sesuatu yang menahannya lagi. Tapi
kali ini sesuatu itu tak terlihat.
“Fauzan, tolong jangan cegah aku. Aku capek.” Fify berhasil
menggores pisau di lehernya tetapi tak begitu dalam.
Fify masih berusaha melawan sesuatu itu yang pada akhirnya berhasil
membuat pisau Fify terlempar jauh. Sedikit sempoyongan Fify menuju arah benda
itu jatuh. Tapi naas. Fify tersandung kaki Panji dan jatuh. Kepalanya terantuk
batu di sebelah nisan Fauzan. Fify mati tepat di sebelah kuburan Fauzan dengan
posisi yang sama. Hingga Fify pun dimakankan di tempat itu. Disebelah Fauzan
dan tidak jauh dari kuburan Panji.
Mama Fify menyesal tidak menyadari isyarat dari putri bungsunya. Fify
hanya memiliki dua tante. Yang pertama pergi merantau dengan suaminya. Yang
kedua telah meninggal dua tahun yang lalu.
Maaf kali ini cerpennya agak panjang... thanks for reading ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar